Sayangnya, para wanita yang disebut cantik ini kemudian diburu menjadi budak dan harem, khususnya oleh Rusia dan kerajaan Safawiah serta Qajar yang merupakan dua dinasti besar dari tanah Persia.
Citra wanita Sirkasia semakin naik derajatnya ketika sebagian dari mereka menjadi istri dari beberapa Sultan Turki Utsmani, Ottoman.
Awal abad ke-19, Johann Friedrich Bluemncach mengemukakan teori ‘Hierarki Rasial’, yaitu orang-orang di wilayah Kaukasus merupakan contoh ‘ras kulit putih’ paling murni yang dinamai ‘caucasian race’ atau ras Kaukasia.
Ironisnya, karena kecantikan para wanita Sirkasia ini, menjadikan negara mereka terkenal, sekaligus menjadi incaran para penjajah, bermula dari sebuah wilayah merdeka hingga dicaplok oleh Rusia.
Perlawanan keras dari Sirkasia ini membuat Rusia melakukan tindakan represif, dengan melakukan genosida pada abad ke-19, yang menyebabkan 1,5 juta etnis Sirkasia tewas terbunuh.
Pada era Tsar Rusia inilah nasib bangsa Sirkasia berubah drastis, ketika Tsar Rusia pada pertengahan abad ke-19 memperluas wilayahnya ke selatan dan menargetkan wilayah Kaukasus tempat orang Sirkasia bermukim yang sebelumnya berada di bawah pengaruh Kekhalifan Turki Utsmani.
Rusia memandang penduduk yang mendiami Kaukasus Utara sebagai suku-suku barbar dari pegunungan yang dijuluki sebagai ‘khishchniki’ yang berarti pencuri atau perampok karena dianggap telah menyerang benteng Rusia.
Tentara Rusia kemudian mengembangkan strategi retribusi baru di awal tahun 1800-an terhadap serangan Sirkasia, mereka diperintahkan untuk menyerang desa-desa tempat keluarga para pejuang Sirkasia tinggal.
Tentara Rusia melakukan berbagai pembunuhan dan penculikan untuk menghapus dukungan pedesaan yang luas yang dinikmati pejuang Sirkasia sebagai penduduk dataran tinggi.
Bahkan tanaman dan ternak pun dihancurkan oleh tentara Rusia, yang membuat rakyat jelata Sirkasia tidak bisa bertahan hidup, yang kemudian dipaksa untuk tunduk pada aturan Rusia atau diusir dari desa mereka.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR