Intisari-online.com -Mengingat sejarah, terjadinya Perang Dunia II disebabkan karena paham etnosentrisme yang kuat dirasakan oleh Adolf Hitler, Joseph Stalin, dan Kaisar Hirohito.
Etnosentrisme adalah paham memandang kebudayaan dan etnis lain kurang baik dibandingkan milik mereka.
Bahkan bisa dianggap mereka menganggap etnis mereka lebih superior dibanding etnis lainnya.
Itulah sebabnya Adolf Hitler membentuk Nazi dan berniat membantai seluruh kaum Yahudi di Eropa Barat kala itu.
Demikian juga dengan Kaisar Hirohito yang merasa etnis selain Jepang berada satu tingkat di bawah etnis Jepang, dan mulai menjajah China, Kerajaan Korea, dan Indonesia.
Etnosentrisme ini membawa ke paham jika etnis yang dianggap kurang 'baik' seharusnya tidak ada di dunia ini.
Bahkan menurut mereka, dunia akan jauh lebih baik tanpa para etnis yang dianggap buruk tadi.
Akhirnya praktik pemusnahan etnis dilaksanakan.
Pemusnahan etnis sendiri adalah penghapusan etnis secara sistematis menggunakan kekerasan atau pemaksaan terhadap etnis, kaum ras atau kelompok agama tertentu di wilayah tertentu.
Tujuannya adalah menghapus kelompok tersebut atau membuat wilayah itu hanya memiliki satu etnis saja, yaitu etnis yang dianggap superior tadi.
Faktanya, kejahatan yang berasal dari kesombongan beberapa manusia ini masih bertahan sampai sekarang.
Tidak hanya di Perang Dunia II, aksi pemusnahan etnis ini telah terjadi sepanjang sejarah.
Dikutip dari beberapa sumber, berikut adalah beberapa contoh paling mengerikan yang pernah terjadi.
Perang sipil Kongo 2003
Perang Kongo sebenarnya terjadi beberapa kali, dimulai sejak tahun 1665 dengan Kongo dalam bentuk negara dan pemerintahan yang berbeda-beda.
Perang di tahun 2003 adalah Perang Kongo Kedua yang terjadi sejak 1998 sampai 2003.
Nama lain perang ini adalah Perang Besar Afrika atau Perang Dunia Afrika, dimulai di Republik Demokrasi Kongo.
Mengutip laporan khusus The Guardian, saat itu dua petugas pangkat menengah yang ikut dalam misi PBB di Kongo telah memperingatkan dengan tegas, meminta bantuan agar mereka dikeluarkan dari tempat tersebut: "Keluarkan kami dari sini, kami akan terbunuh."
Saat itu, anak-anak kecil membawa senjata, mabuk, mata merah, dan semua mabuk akibat marijuana.
Selain menodongkan pistol, mereka juga masih membawa belati.
Mereka dengan rakus mengintip ke dalam pos terdepan berisi dua sukarelawan tidak bersenjata dari misi 2 juta Dollar sehari ke Kongo.
Mayor Safwat al Oran dari Jordan dan Kapten Siddon Davis Banda dari Malawi menunggu dengan sabar, sudah 6 hari mereka melatih indra pendengar untuk mencari helikopter PBB.
Mereka mengunci diri di pos tersebut karena sudah tahu tidak ada cara lain pergi dengan aman di Bunia di tengah milisi tersebut.
Namun permintaan untuk bantuan mereka semakin mendesak, dan ketakutan mereka adalah pada milisi Lendu serta musuh mereka Hema, yang sudah terkenal karena kanibalisme mereka. Kelompok-kelompok itu mulai mendekat.
Saat PBB datang, kondisinya sudah terlambat, dan akhirnya diketahui jika konflik 6 tahun tersebut sudah merenggut nyawa lebih banyak dari perang apapun sejak Perang Dunia II.
Perwakilan suku Mbuti Pygmies, Sinafasi Makelo, mengatakan kepada Forum PBB Indigenous People tahun 2003 bahwa selama Perang Kongo Kedua, sukunya diburu dan dimakan layaknya perburuan binatang.
Kedua pihak yang berperang menganggap suku tersebut bukan manusia dan mengatakan daging mereka bisa untuk ilmu sihir.
Sejak itu, Dewan Keamanan PBB mengkategorikan kanibalisme sebagai kejahatan kemanusiaan dan aksi genosida.
Kanibalisme Rwanda
Baca Juga: Leonard Akhirnya Bertemu Putrinya, 23 Tahun Setelah Ia Hilang dalam Genosida Rwanda
Penghapusan etnis berikutnya terjadi di Rwanda, diceritakan oleh pelarian Rwanda yang berhasil pergi ke Los Angeles saat krisis terjadi.
Dikutip dari Los Angeles Times dari artikel tahun 1994, Joseph Wanzam, anggota suku minoritas Tutsi, mengatakan siksaannya dimulai April saat ia melihat keluarganya dibunuh oleh suku musuhnya, Hutu.
Kemudian dia mengatakan ia menghindari kematian dalam pembantaian di kamp penjara hutan dan melarikan diri dengan berjalan kaki ke negara tetangga, Uganda.
Konflik dimulai ketika pesawat presiden Rwanda diserang dengan roket, kemudian pemerintah yang dikuasai oleh suku Hutu, menyalahkan serangan roket itu sebagai aksi dari pasukan pemberontak Tutsi, yang telah menerima konseling dan suplai dari ayah Wanzam, petani kopi yang sukses dan pembicara hak Tutsi yang aktif.
Paginya sejak serangan roket, anggota milisi lokal datang ke perkebunan Wanzam dan menangkap surat ayahnya.
Suku Tutsi diburu, dibunuh kemudian dipotong-potong, jantungnya diambil, dipanggang dan dimakan.
Ritual ini diyakini mereka untuk melindungi dari pembalasan di masa depan oleh arwah korban.
Banyak juga korban yang dipotong layaknya kubis dari pohon untuk mengeringkan darah mereka, memasukkan darah tersebut dalam wadah kayu.
Baca Juga: Eric Eugene Murangwa: Menjadi Pesepakbola Telah Menyelamatkanku dari Genosida Rwanda
Tujuan mereka semata-mata melihat apakah darah mereka seperti darah manusia lainnya.
Sebanyak 35 ribu Tutsi terbunuh dengan kejam akibat genosida tersebut.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini