Advertorial
Intisari-online.com -Myanmar mendapat perhatian dunia setelah terjadi kudeta militer oleh pemimpin militernya, Min Aung Hlaing.
Faktanya negara itu sudah bertahun-tahun dihantui oleh junta militer, dengan rakyat menganggap sosok pelindung mereka adalah Daw Aung San Suu Kyi.
Rakyat akan memasang foto rahasia Aung San Suu Kyi, putri tunggal dari proklamator Myanmar atau Burma, Aung San.
Ia menjadi citra dari demokrasi yang telah lama dirindukan warga, dan Suu Kyi dianggap akan menyelamatkan negaranya dari kekuasaan militer yang mengerikan meskipun ia menjadi tahanan rumah.
Namun meskipun ia dan partainya memenangkan pemilu bersejarah di tahun 2015 dan di tahun 2020 kemarin, ditambah pemerintahan sipil dan popularitasnya di dalam Myanmar, Suu Kyi dianggap sosok yang berbeda di luar negaranya.
Dalam opini karangan jurnalis New York Times, Hannah Beech, Suu Kyi disebutkan sudah digambarkan oleh para pakar asing sebagai santo pelindung yang gagal dan membuat perjanjian Faustian dengan para jenderal.
Ia juga disebutkan tidak lagi layak mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Karena pada akhirnya, Suu Kyi (75) gagal menyelamatkan warganya, atau tidak bisa menghentikan para jenderal militer.
Hal ini terlihat dari kejadian kudeta militer Senin lalu, menyebabkan militer kembali lagi menguasai Myanmar setelah sebelumnya sudah menguasai negara itu selama hampir 50 tahun.
Militer menghentikan berkuasanya partai Suu Kyi, National League for Democracy atau Liga Demokrasi Nasional, yang hanya memegang kekuasaan selama 5 tahun.
Suu Kyi ditahan bersama para jajaran menteri dan sosok pro-demokrasi lainnya.
Di seluruh negara, papan iklan pemerintah masih menunjukkan foto-foto dan logo partainya, burung merak.
Namun faktanya kekuasaan sudah dipegang oleh Jenderal Min Aung Hlaing.
Hilangnya Suu Kyi, yang mewakili dua arketipe untuk dua publik yang berbeda; lokal dan mancanegara, membuktikan ketidakmampuannya untuk laksanakan apa yang sudah diharapkan banyak orang: membentuk kesetaraan politik dengan militer yang akan berbagi kekuasaan dengannya.
Dengan membiarkan negosiasi dengan Min Aung Hlaing melemah, Suu Kyi telah kehilangan telinga militer, dan dengan membela para jenderal yang membunuh para Muslim Rohingya, ia telah kehilangan kepercayaan komunitas internasional yang sebelumnya mendukungnya untuk menang selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
"Aung San Suu Kyi mendapat kritik internasional dengan mengklaim dia bukan aktivis HAM tapi politisi. Namun bagian menyedihkannya adalah ia juga tidak bagus-bagus amat menjadi politisi," ujar Phil Robertson, deputi direktur Asia untuk Human Rights Watch.
"Ia gagal tes moral besar dengan menutupi kekejaman militer melawan Rohingya. Namun perselisihan dengan militer tidak pernah terwujud, dan kemenangan telaknya dalam pemilihan bisa dengan mudah dibatalkan oleh kudeta."
Presiden AS Joe Biden menghadapi ujian pertamanya itu dengan berusaha membalikkan pemilihan demokratis, mengeluarkan pernyataan yang berbeda dengan Trump dalam menangani masalah HAM.
"Dalam demokrasi, kekerasan tidak boleh berusaha untuk mengesampingkan keinginan rakyat atau menghapus hasil pemilu yang kredibel," ujarnya, mirip dengan apa yang ia utarakan setelah kekacauan Capitol disebabkan massa yang menolak kemenangannya.
Ia juga meminta negara-negara "bersatu dalam satu suara" menekan militer Myanmar agar melepaskan kekuasaan.
Faktanya, kemenangan partai politik Suu Kyi disebabkan banyak rakyat Myanmar menganggap partainya sebagai senjata terbaik dan satu-satunya senjata melawan para jenderal.
Namun akomodasinya pada militer selama 5 tahun terakhir dipandang oleh beberapa pakar sebagai bela diri politik saja, bukan peredaan kekuasaan.
Salah satu warga Myanmar, U Aung Kyaw (73), seorang pensiunan guru, mengatakan "dia adalah satu-satunya orang yang bisa melawan militer. Kami akan memilihnya selamanya, tapi hari ini adalah hari tersedih dalam hidupku karena ia menghilang lagi."
Suu Kyi menumbuhkan hubungan dekat dengan para pejabat militer, dan partainya dibentuk dengan persekutuan dengan pejabat militer senior.
Setelah lolos dari tahanan rumah di tahu 2010, ia sering makan malam dengan mantan anggota junta militer yang menahannya.
Pendukungnya mengatakan kesenangan mereka terhadap Suu Kyi melebihi ketenangan Budhaisme atau taktik politik.
Suu Kyi, anak dari pendiri militer modern Myanmar, mengatakan juga jika ia memiliki kesenangan mendalam untuk militer.
Tampaknya kesenangan mendalam tersebut juga ia utarakan saat para jenderal militer dihukum atas kekerasan terhadap Muslim Rohingya di tahun 2017.
Penyelidik PBB mengatakan pembantaian dan pembakaran desa yang menyebabkan tiga perempat juga anggota minoritas Muslim lari ke Bangladesh itu dilakukan dengan niat genosida atau pembantaian massal.
Namun di Pengadilan Internasional tahun 2019, Suu Kyi yang datang sebagai menteri luar negeri dan penasihat negara Myanmar, mengabaikan kekerasan itu sebagai "konflik internal".
Ia bahkan mengikuti arahan militer tidak menyebutkan nama etnis Rohingya dalam pengadilan itu.
"Beberapa akan berpikir ia tidak sukses menghentikan kekuasaan militer, bahwa ia membela genosida untuk membangun citra politiknya di antara para pejabat militer, tapi juga masih saja kalah," ujar Matthew Smith, pendiri kelompok LSM HAM Fortify Rights.
"Aung San Suu Kyi tidak membela militer di pengadilan untuk mengimbangi kekuasaan mereka. Ia membela militer, sebagaimana perannya dalam kekejaman itu. Ia adalah bagian dari masalah itu sendiri."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini