Intisari-Online.com – ‘Kegilaan’ tidak hanya melanda monarki Eropa, tetapi juga dari dinasti Cho’son Korea, yang telah memerintah Korea sejak 1392.
Pangeran Sado adalah putra mahkota, yang lahir pada 13 Februari 1735, sebagai putra kedua Raja Yeongjo dengan selir kesayangannya.
Sado adalah putra kedua Raja Yeongjo dan satu-satunya pewaris laki-laki yang masih hidup, karena kakak laki-lakinya meningga secara tragis pada usia 9 tahun.
Ada kegembiraan besar ketika lahir seorang putra yang sehat.
Namun, kehidupan Sado tidak semuanya bak pelagi dan mawar, yang indah dan berwarna.
Rupanya, sang ayah memiliki temperamen yang buruk, yang membuat Sado sangat takut padanya sejak usia sangat muda.
Bocah laki-laki itu dikabarkan cukup pemalu di sekitar ayahnya, yang membuat Yeongjo semakin marah pada putranya.
Sado mengidolakan ayahnya tetapi tidak pernah mendapatkan persetujuan Yeongjo.
Yeongjo sangat kritis terhadap setiap kesalahan yang dibuat Sado, tetapi tidak pernah menunjukkan rasa senang ketika Sado berhasil.
Hubungan dengan ibunya tidak lebih baik, karena ibunya hanya mengikuti aturan raja untuk mengangkatnya menjadi putra mahkota dalam surat dan membiarkan hubungan keibuan yang penuh kasih terpinggirkan.
Seperti ayahnya, Sado mencintai dan menghormati ibunya, tetapi hubungan mereka juga tidak terlalu baik.
Sebagai putra mahkota, Sado menikah muda dengan Lady Hyegyong, putri seorang sarjana miskin dengan garis keturunan yang mengesankan dan pemahaman pengetahuan, dan keduanya berusia sekitar delapan tahun.
Hyegyong menulis memoarnya yang membahas kehidupannya di istana dengan Sado, bahwa dia cukup cema suntuk dipilih sebagai istri putra mahkota’ seolah-olah ada firasast tentang banyak sekali cobaan dan kesengsaraan yang akan dilaluinya di istana’.
Karena pasangan pengantin itu masih sangat muda, maka hubungan mereka seperti teman bermain masa kecil, tinggal di rumah yang terpisah, dan Hyegyong tetaplah seorang anak berusia delapan tahun, hanya situasinya berbeda.
Meskipun kedua anak itu tampaknya rukun, namun Hyegyong tidak bisa memberikan dukungan nyata untuk Sado.
Namun, ayah Hyegyong mampu turun tangan dan memberikan perawatan kebapakan untuk Sado muda yang sangat kurang.
Satu setengah tahun setelah pernikahan pada tahun 1746, Sado jatuh sakit parah, dan setelah pulih, bersama Hyegyong dipindahkan ke rumah baru, yang dekat dengan ibunya seolah-olah bisa membantu merawatnya.
Penyakit ini menjadi titik balik bagi Sado, entah apa penyakitnya, tetapi selama sakit dan setelah sembuh, perilaku Sado menjadi tidak menentu.
Sado menjadi serius dengan studi dan kegiatan atletiknya, namun hubungannya tidak membaik dengan ayahnya, hingga akhirnya Sado dan Hyegyong dipindahkan dari istana sehingga Yeongjo tidak harus berurusan dengannya, yang membuat Sado makin terisolasi.
Setelah Sado menjalani upacara kedewasaannya pada usia 14 tahun, dia dan Hyegyong mulai hidup sebagai suami istri yang tradisional, lalu mereka memiliki seorang anak, yang sayangnya hanya hidup sampai usia 2 tahun, yang membuat mereka sangat berduka.
Seorang putra baru lahir setahun kemudian tahun 1752, namun perilaku aneh Sado berubah menjadi lebih buruk.
Sejarawan berspekulasi bahwa serangan campak memperburuk keadaannya yang sudah gelisah dan Sado mulai mengalami halusinasi dan mimpi buruk,seperti melihat dewa guntur, dan ketakutan irasional terhadap langit.
Sado yakin bahwa dia disalahkan oleh ayahnya bila terjadi badai yang melanda negara itu.
Dia terobsesi dengan sihir Taiost, khususnya buku yang dikenal sebagai Kitab Suci Tulang Belakang Giok.
Dia akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berpakaian dan memilih pakaian, dengan seluruh pakaian dibakar sebagai persembahan roh.
Pakaiannya menjadi terkait dengan cuaca, dan akan menyenangkan atau tidak menyenangkan para dewa langit dengan kriteria yang hanya dia yang bisa mengerti.
Yeongjo mulai mengirim Sado menggantikannya untuk tugas-tugas resmi yang semakin banyak, terutama yang tidak ingin dilakukan Yeongjo, termasuk mengawasi penyiksaan tahanan kekaisaran, yang tidak memperbaiki kondisi mental Sado.
Sado dan Yeongjo berselingkuh dengan wanita istana, yang berbeda.
Namun, ini mempengaruhi hubungan mereka yang sudah buruk, karena Sado memiliki dua putra dengan ‘simpanannya’ dan Yeongjo memiliki dua putri.
Yeongjo sangat cemburu pada kedua putranya, buruknya lagi, saudara dari salah satu selir Yeongjo memberi laporan tiap hari tentang perilaku aneh Sado.
Ini terjadi ketika Sado datang ke ranjang kematian ratu dan disambut oleh ayahnya.
Yeongjo marah dan berteriak pada Sado, sampai dia melarikan diri keluar dari jendela dan berlari pulang.
Sejak itu Sado menjadi gagap, dan tidak melakukan apa-apa selain membuat ayahnya lebih marah lagi, karena dia mabuk.
Pada suatu hari, Yeongjo mencaci maki Sado, hingga mulai mengejar dan memukuli para pelayan, lalu istana dibakar dan Hyegyong yang sedang hamil tidak bisa melarikan diri dan dua putra mereka yang masih kecil.
Sejak itulah, perilaku Sado menjadi kasar dan tidak menentu, dia melampiaskan masalah atau kesal pada pelayan dengan kekerasan, bahkan ketika ibunya meninggal, dia memukuli pelayan untuk mengatasi kesedihannya.
Dia membunuh kasim lain dengan memenggal kepalanya, lalu kepala mayat itu ditaruh di atas tongkat yang dibawanya ke mana-mana.
Hyegyong menulis dalam memoarnya sebagai kepala terpenggal pertama yang dilihatnya.
Sado juga dilaporkan menjadi pemerkosa berantai, memaksakan dirinya pada wanita mana pun, pelayan atau wanita istana, yang tidak segera menyetujuinya.
Hyegyong juga menulis, dia hampir kehilangan matanya setelah Sado memukul kepalanya dengan papan catur, dia cukup beruntung karena salah satu selir Sado dipukuli sampai mati.
Jika ada peristiwa atau tragedi yang membuat stres, Sado akan menanganinya dengan membunuh serangkain pelayan.
Hyegyong menulis Sado yang mengatakan, “Membunuh orang atau hewan saat aku depresi atau gelisah akan meredakan kemarahanku yang terpendam.” Wah.
Tercatat bahwa Yeongjo bertanya kepada Sado mengapa dia melakukan kejahatan yang dia lakukan, dan Sado menjawab, “Karena aku kesakitan! Kamu adalah ayahku, tetapi tidak mencintaiku.”
Dia juga mulai minum banyak, yang merupakan pelanggaran serius terhadap masyarakat Korea.
Pada 1762, semua orang di istana, baik keluarga atau pelayan, dalam bahaya.
Hampir setiap hari banyak mayat keluar dari istana, seperti setengah sadar Sado melakukannya sepanjang waktu, bahkan dia hampir memperkosa adik perempuannya.
Pada tanggal 4 Juli 1762, Sado dipanggil ke hadapan Yeongjo. Putra mahkota dilucuti gelarnya dan diperintahkan untuk masuk ke kotak nasi, yang merupakan peti kayu besar yang berat.
Tutupnya ditutup, dan Sado dibiarkan kepanasan dalam panasnya bulan Juli. Sado bertahan selama delapan hari, tanpa makanan atau air dan mati berteriak minta ampun.
Pelayan dan pembantunya juga dihukum mati.
Hyegyong mencatat badai petir yang mengerikan pada hari kedelapan bertepatan dengan obsesinya dengan dewa guntur.
Luar biasa, kematian Sado adalah ide dari ibunya, melansir historynaked.
Hyegyong dalam memoarnya menulis bahwa ibunya mengatakan kepada Yeongjo, untuk menyelamatkan cucu kerajaan karena penyakit pangeran semakin kritis dan tidak ada harapan, namun jangan sampai ayahnya disalahkan karena membunuhnya, tetapi penyakit yang jadi penyebab kematian pangeran.
Maka, Raja tidak membunuhnya, Sado mati karena kelaparan!
Hyegyong tetap hidup untuk membesarkan putra dan putrinya bersama Sado, dia tetap hidup untuk menujukkan bahwa suaminya tidak bersalah atau untuk memprotes penanganan masalah oleh raja.
Terlepas dari semua perilaku buruknya, Hyegyong memperlakukan Sado dengan penuh simpati saat dia menyadari bahwa Sado sakit jiwa.
Putra Sado dan Hyegyong, Jeongjo, kemudian menjadi salah satu raja terbesar Korea, yang kemudian mengubur kembali ayahnya di kuburan yang cocok untuk seorang raja.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari