Ia menjawab jika ada pun bersifat "sangat kecil sampai tidak kelihatan".
"Apa yang bisa kita garis bawahi adalah, sementara tidak ada interaksi antara pejabat dari dua negara, seperti halnya kita tidak punya hubungan diplomatik, ada hubungan antar orang," ujarnya.
Hal ini meliputi tur ziarah yang diambil sebagian warga Indonesia ke situs-situs bersejarah di Israel dan aktivitas sektor swasta.
Bahkan walaupun tanpa hubungan diplomatik, Indonesia sudah melaksanakan perdagangan dengan Israel, terutama dalam produk teknologi.
Tahun 2006, Jakarta membeli empat drone buatan Israel lewat entitas perdagangan di Filipina, untuk USD 6 juta guna membantu Indonesia memonitor kepulauan dan Selat Malaka.
Sebuah investigasi yang dilakukan oleh koran Israel, Haaretz, pada 2018, menuduh jika perusahaan Israel telah menyediakan spyware kepada klien Indonesia "untuk menciptakan sebuah pangkalan data untuk aktivis hak LGBT" atau "agama minoritas".
Tidak dikatakan jika apakah klien ini dari sektor pemerintah atau swasta.
Aaron Connelly, peneliti di International Institute for Strategic Studies (IISS) di Singapura, mengatakan bahwa walaupun laporan di media Israel mungkin bisa dipercaya, ada banyak faktor politik lokal Indonesia yang menyebabkan terhambatnya normalisasi hubungan.
"Jelas-jelas ada pembicaraan yang terjadi, tapi mungkin laporan-laporan itu tidak menjadi kendala bagi pemerintah Indonesia, mungkin yang satu ini jadi kendala," ujar Connelly.
"Kendala bagi Presiden Joko Widodo signifikan, ia masih mempertimbangkan politik Islam sebagai ancaman signifikan bagi stabilitas politik di Indonesia, dan kurasa jika Indoenesia akan menormalisasi hubungan dengan Israel, ia akan mencari pergolakan politik.
"Apa manfaat normalisasi yang lebih besar daripada risiko yang akan dia ambil, dalam hal stabilitas politik?"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?
Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini
KOMENTAR