Intisari - Online.com -Pembantaian massal yang mengerikan terjadi di Bandung, Jawa Barat.
Pembantaian ini menewaskan 94 anggota TNI.
Dalam aksi tersebut juga dilancarkan serangan ke Jakarta, tetapi serangan ke Jakarta berhasil digagalkan.
Meski begitu, kota Bandung sempat diduduki oleh para pelakunya.
Pembantaian massal ini merupakan bagian dari kudeta yang dilakukan oleh salah satu gerakan separatis di Indonesia.
Kejadian ini terjadi pada 23 Januari 1950 oleh APRA (Angkatan Perang Ratu Adil).
APRA didirikan oleh bekas perwira KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Hindia Belanda, Raymond Westerling.
Anggotanya kebanyakan direkrut dari bekas prajurit KNIL, terutama dari prajurit Regiment Speciale Troepen (Regimen Pasukan Khusus).
Tahun 1950 itu jumlah pasukan APRA sekitar 2000 orang.
Westerling sendiri juga mendirikan organisasi rahasia bernama Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI) dengan pengikut sebanyak 500.000 orang.
RAPI bertujuan menggulingkan pemerintah Soekarno di tahun 1950.
Nah, APRA adalah satuan bersenjata milik RAPI.
Latar belakang timbulnya pemberontakan APRA di Bandung pada 23 Januari 1950 adalah mulai dibubarkannya negara bagian bentukan Belanda di Republik Indonesia Serikat (RIS) yang bergabung kembali ke Republik Indonesia.
APRA tidak menyetujui adanya rencana pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949.
Hasil dari KMB saat itu adalah:
Kerajaan Belanda akan menarik pasukan KL (Koninklijk Leger) dari Indonesia
Tentara KNIL akan dibubarkan dan akan dimasukkan ke dalam kesatuan-kesatuan TNI
Dari hasil tersebut, akhirnya APRA dan Westerling menjalin kerja sama dengan Sultan Pontianak, Sultan Hamin II yang beraliran federalis.
Mereka akan mencoba melakukan kudeta pada Januari 1950.
Tujuan kudeta ini adalah upaya untuk mempertahankan negara federal RIS saat sebagian besar negara bagian RIS ingin membubarkan diri dan bergabung kembali dalam Republik Indonesia (RI).
Pada Kamis, 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang berisi ultimatum.
Isi ultimatum tersebut adalah ia menuntut agar pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan.
APRA memberikan waktu pemerintah RIS selama tujuh hari untuk memberikan jawaban, jika ditolak maka akan terjadi pertempuran besar.
Kemudian untuk mencegah tindakan Westerling, 10 Januari 1950 Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta, memberi perintah penangkapan Westerling.
Westerling sudah mendengar rencana penangkapan tersebut, dan ia kemudian mempercepat pelaksanaan kudetanya.
23 Januari 1950, Westerling melancarkan aksi kudetanya dengan masuk ke kota Bandung, Jawa Barat dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui di jalan.
Bandung diserang dan Westerling melakukan pembantaian di sana.
Sebanyak 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian itu.
Westerling kembali ke tempat masing-masing bersama pasukannya untuk mempersiapkan kudeta kedua.
Upaya itu gagal berkat dukungan pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII).
Kegagalan itu membuat Westerling mendapatkan demoralisasi anggota milisi.
Ia akhirnya melarikan diri ke Belanda dan APRA tidak berfungsi lagi.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini