Intisari - Online.com - Dunia telah menyaksikan bagaimana pemimpin militer Myanmar Senior Jenderal Min Aung Hlaing mencoba segala cara untuk menggulingkan pemerintahan resmi Myanmar.
Dengan melancarkan kudeta militer pada 1 Februari 2021, Min Aung Hlaing telah mengamankan kekuasaannya di Myanmar.
Namun hampir satu tahun setelah ia menempatkan Myanmar dalam revolusi yang tidak terduga, di mana protes nasional telah terjadi terus-terusan, ada tanda-tanda jika pemimpin kudeta berusia 65 tahun itu kehilangan pegangan.
Melansir Asia Times, beberapa hari setelah kudeta dan respon anti-kudeta yang masif dilancarkan masyarakat Myanmar, Min Aung Hlaing tampak tidak percaya diri dalam penampilannya di TV nasional.
Dalam penampilannya itu ia membaca sebuah manuskrip yang sudah disiapkan dengan tatapan berkedip-kedip dalam apa yang dilihat banyak orang sebagai upaya lemah membenarkan perebutan kekuasaan militernya.
Ia sejak itu sering tampak bingung menghadapi kekacauan dan kekerasan yang telah menjalar di negara tersebut.
Situs berita Irrawaddy melaporkan pada 4 Mei jika Min Aung Hlaing mengatakan dalam sebuah pertemuan dengan para pejabat kesehatan di tengah wabah Covid-19 jika "berjalan adalah bentuk latihan paling baik dan paling murah."
Dalam sebuah tur inspeksi ke utara provinsi Shan sebulan sebelumnya, tentara menyatakan kekaguman dengan upaya kepala insinyur dari Kementerian Konstruksi memastikan jika air hujan dari jalan kering sepenuhnya.
Dalam sebuah pidato yang diterbitkan di corong militer Global New Light of Myanmar 2 November lalu, ketika perang saudara virtual berkecamuk di seluruh negeri, Min Aung Hlaing meminta "masyarakat banyak bepergian dengan bus dan kereta api. Demikian pula dengan penggunaan minyak nabati, tanaman penghasil minyak banyak ditanam di Myanmar termasuk wijen, niger, bunga matahari, kacang kedelai serta kelapa sawit."
Pidato bertele-tele yang tidak teratur itu, yang kadang diwarnai dengan kepercayaannya yang berlebih terhadap astrologi telah menimbulkan pertanyaan di antara banyak pengamat mengenai kesehatan mental pemimpin junta tersebut.
KOMENTAR