Penulis
Intisari-Online.com - Masa depan krisis Myanmar dapat ditentukan di New York Selasa besok ketika Majelis Umum PBB bertemu, selama salah satu isu paling kontroversial akan dibahas oleh Komite Kredensial PBB.
Majelis Umum, yang berisikan 9 negara, akan ditugaskan memutuskan siapa yang seharusnya menjadi pemerintah sah negara tersebut.
Pilihan ada dua: junta militer yang mengambil alih pemerintahan sejak kudeta militer 1 Februari lalu, atau pemerintah yang diasingkan, National Unity Government (NUG).
Sejak kudeta, yang menggulingkan pemerintahan demokratis terpilih, National League for Democracy (NLD), Myanmar telah terjebak dalam krisis.
Perkiraan tentang hal ini bervariasi, tapi pakar memperkirakan ribuan warga sipil telah terbunuh oleh militer selama protes jalanan melawan junta militer.
Ketegangan bersejarah dengan berbagai kelompok etnis Myanmar berisiko menjadi arena perang seluruhnya.
Ekonomi negara itu lumpuh total, infeksi Covid-19 meningkat, Myanmar akhirnya disebut sebagai negara gagal seperti dikutip dari Asia Times.
Sementara itu, komunitas internasional telah menolak mengatakan pihak mana yang mereka anggap pemerintah sah negara tersebut, keputusan yang dapat memperburuk masalah Myanmar.
Karena kebingungan ini, Myanmar belum diberi kursi di berbagai lembaga internasional, termasuk Dewan HAM PBB dan WHO.
Sejak kudeta, kursi Myanmar di PBB diduduki oleh Kyaw Moe Tun, perwakilan NLD yang menolak pemerintah militer.
Junta telah gagal menggantikannya di New York.
Dewan Administrasi Negara (SAC), nama resmi pemerintahan junta, mengatakan mereka seharusnya mendapat pengakuan internasional sebagai pemegang kendali negara tersebut termasuk bandara dan pangkalan militer dan juga ibukota Myanmar, Naypyidaw.
Namun, NUG berargumen mereka yang seharusnya dianggap mewakili rakyat Myanmar, sejak NLD menjadi pemenang pemilihan tahun lalu, walaupun junta mengklaim hasilnya penipuan.
NUG dibentuk April lalu melibatkan aktivis pro-demokrasi lainnya.
Sementara PBB biasanya ragu-ragu atas isu-isu kontroversial semacam itu di masa lalu, PBB memiliki preseden guna mengakui pemerintah yang digulingkan contohnya untuk Haiti tahun 1992 dan Sierra Leone tahun 1997.
Voting untuk NUG di di PBB akan menjadi sinyal diplomatik paling kuat yang bisa dikirim ke junta, ujar Moe Thuza, peneliti di ISEAS-Yosof Ishak Singapura.
Hunter Marston, cendekiawan Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia mengatakan dengan pengakuan Majelis Umum PBB kepada NUG menjadi celah lebih besar bagi AS untuk "terlibat secara terbuka dan mempromosikan pesan NUG melawan SAC."
Sejauh ini, AS dan Uni Eropa telah menerapkan sanksi kepada bisnis yang terkait dengan junta dan memotong paket perkembangan tertentu untuk Myanmar.
"Diskusi dari Komite Kredensial PBB penting dan pilihan berbeda tersedia. Hasilnya tidak akan mengubah pendekatan politik Uni Eropa terhadap Myanmar," ujar juru bicara Uni Eropa.
Pakar memperkirakan bahwa setelah pengakuan resmi, AS dan kekuatan internasional lain dapat memberikan dana lebih banyak ke NUG, yang bisa menjadi cara penyelesaian di Myanmar.
Negara-negara asing juga dapat memberi bantuan kepada NUG dari pendanaan resmi Myanmar di luar negeri.
Pejabat NUG juga bisa bepergian lebih bebas ke seluruh dunia, dan bertemu lebih sering dan lebih formal dengan pemimpin dari negara lain.
Namun yang paling signifikan menurut Marston adalah dengan mengenali NUG sebagai pemerintah resmi Myanmar maka ASEAN bisa ikut mengakui mereka dan melibatkan perwakilan NUG dalam pertemuan regionalnya, daripada melibatkan menteri luar negeri yang ditunjuk junta, Wunna Maung Lwin.
ASEAN dianggap telah menerima junta militer sebagai pemerintah resmi Myanmar karena sudah melakukan rapat dengan pejabat junta alih-alih dengan pejabat NUG.
Namun pakar juga beranggapan jika PBB mengakui NUG sebagai pemerintah resmi Myanmar bisa menyebabkan lebih banyak kekerasan di negara tersebut.