Penulis
Intisari-online.com -Minggu lalu dunia digegerkan atas ditemukannya bukti pembantaian massal oleh junta militer Myanmar.
Di wilayah barat laut Myanmar ditemukan 40 jenazah pada Juli lalu.
Jasad-jasad itu ditemukan di beberapa lokasi berbeda di sekitar Kani, kota dari Sungai Chindwin di Wilayah Sagaing.
Wilayah tersebut juga yang menjadi saksi bisu pertarungan mematikan beberapa bulan terakhir antara pasukan bersenjata Myanmar dan kelompok milisi.
Menurut para penduduk, jasad 40 orang itu dibunuh oleh tentara.
"Pasukan junta menyerbu desa kami. Kami melarikan diri dan temukan mayat-mayat ketika kami kembali ke desa ini," ujar satu penduduk kepada media lokal, dikutip dari The Diplomat.
Pada penemuan terbaru, media Myanmar Now melaporkan ada 12 mayat hangus termasuk mayat bocah berumur 14 tahun yang ditemukan di wilayah hutan sekitar desa Taung Pauk pada 30 Juli.
Penemuan itu dilaporkan beberapa hari setelah pasukan militer memasuki Taung Pauk dan desa sekitarnya.
Pasukan junta militer mulai menahan penduduk pria yang dicurigai terlibat dalam gerakan anti-kudeta.
Menurut Myanmar Now, penemuan ini diikuti dengan dua penemuan jasad sebelumnya yang sudah dibuang di tempat lain, mengikuti serbuan militer dan kerusuhan antara pasukan keamanan dan anggota militan lokal.
Minggu ini, duta besar Myanmar untuk PBB, yang memutuskan hubungan dengan junta militer Februari lalu dan setia kepada pemerintah resmi, memperingatkan PBB terkait "laporan pembantaian massal" di Kani.
Dalam sebuah surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Dubes Kyaw Moe Tun menggambarkan penemuan 40 jasad tersebut.
Baca Juga: Myanmar Negara yang Terletak Paling Utara di ASEAN, Punya Iklim Paling Unik
Ia mengatakan insiden itu "jelas-jelas menjadi kejahatan melawan kemanusiaan" dan memanggil intervensi mendesak.
"Tidak ada tanda meredanya kekejaman, pembunuhan, penangkapan yang dilakukan oleh militer," tulisnya dalam surat kepada Guterres.
“Kami menuntut intervensi kemanusiaan mendesak dari komunitas internasional sebelum terlambat.”
Penemuan di Kani menyediakan lebih banyak bukti atas kekerasan yang dilakukan administrasi yang baru.
Padahal junta militer menyebut diri mereka sebagai "pengasuh pemerintah" tapi justru melakukan cara apapun untuk melawan gerakan anti-kudeta.
Ini juga mendemonstrasikan jika perlawanan warga masih belum selesai.
Wilayah Sagaing di barat laut Myanmar telah menjadi pusat perjuangan pasukan anti-kudeta.
Hal ini dilakukan sejak pemerintahan bayangan National Unity Government (NUG) mengumumkan pembentukan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) awal Mei lalu.
Baca Juga: Ini Negara ASEAN yang Memiliki Iklim Subtropis, Tapi Cuma Sebagian Wilayah Negaranya Saja
Pasukan itu dibentuk untuk melawan militer dan membangun pondasi dari masa depan Tentara Federal.
Sejak itu, kelompok milisi sipil telah bermunculan di semua bagian negara itu, dan beberapa telah meluncurkan serangan mematikan kepada pasukan junta dengan senjata darurat dan senapan berburu rakitan.
Sementara beberapa mengadopsi moniker PDF, aksi mereka semua hampir bersifat lokal dan tidak terkoordinasi.
Namun NUG yang termasuk aktivis politik, organisasi etnis minoritas dan anggota partai Aung San Suu Kyi pemimpin Myanmar, tampak sudah siap dengan gejolak nasional.
Dalam wawancara dengan Myanmar Now, Menteri Pertahanan NUG Yee Mon mengatakan pemerintah kudeta telah menghubungi dengan sebagian besar PDF di seluruh negeri dan berharap bisa membuat mereka bergerak dalam satu komando.
Ia menyadari membangun rantai komando yang bersatu penting untuk keberhasilan perjuangan itu, lantas ia mendesak warga Myanmar "untuk bergabung di bawah bendera yang sama satu dan selamanya."
Yee Mon menambahkan jika NUG "merencanakan untuk mempersenjatai pasukan revolusioner dengan sebanyak mungkin senjata," termasuk senjata yang direbut dari mereka ketika serangan tabrak lari terhadap militer.
Dalam wawancara yang diunggah dalam unggahan Facebook ia menyatakan: "Kami siap untuk permainan akhir revolusi."
Namun beberapa pakar militer yakin jika PDF yang bersatu dapat menjadi ancaman bagi Tatmadaw, selama korps perwira masih tidak bersatu.
Seperti yang telah diklarifikasi oleh peristiwa baru-baru ini di Kani, militer bermain untuk menjaga dan tidak menyesal menggunakan kekerasan biadab untuk menjaga kekuasaannya.
Pada saat yang sama, kemarahan dan keputusasaan rakyat tetap ada sehingga perlawanan sipil yang terus berlanjut hampir pasti.
Kecuali semacam kejadian angsa hitam – perpecahan di eselon atas militer, atau pembelotan massal dari jajaran – hasil yang paling mungkin bukanlah kemenangan bagi kedua pihak, melainkan kebuntuan yang berlarut-larut dan menggerus.