Penulis
Intisari - Online.com -Dibentuk sejak 8 Agustus 1967, ASEAN, persekutuan negara-negara Asia Tenggara, tidak pernah ditinggalkan 10 negara Asia Tenggara.
10 negara anggota tersebut antara lain Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Brunei Darussalam serta Vietnam.
Bagaimanapun kondisi masing-masing negara anggota ASEAN, tidak ada ancaman salah satu negara akan meninggalkan persekutuan erat ini.
Namun, agaknya kondisi ini berubah di tengah kegentingan yang terjadi di Myanmar.
Banyak pakar mengkhawatirkan Myanmar bisa meninggalkan ASEAN sewaktu-waktu.
Melansir The Interpreter, keputusan ASEAN tidak mengundang junta militer Myanmar pada dua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang saling berkaitan di Brunei 26-28 Oktober lalu menimbulkan pertanyaan.
Jika didorong terlalu jauh, apakah junta di Naypydaw akan membawa Myanmar keluar dari ASEAN?
Pemimpin militer Myanmar berpikir lama dan berat sebelum bergabung ke dalam ASEAN, negara yang sudah lama penuh masalah itu akhirnya bergabung dengan ASEAN pada 1997.
Dalam melakukannya dilihat sebagai istirahat dari ketergantungan mendalam dan lama Myanmar atas kemerdekaan dan netralitas ketat atas hubungan luar negeri.
ASEAN saat itu tidak bersekutu dengan blok kekuatan besar manapun, dan tidak terlibat dalam hubungan dalam negeri negara-negara anggotanya.
Meski begitu, keanggotaan tetap membuat Myanmar berkompromi.
Saat itu, pihak konservatif dari dewan militer yang berkuasa mengklaim keanggotaan ASEAN tidak menawarkan apapun, dan malah hanya akan membuka Myanmar terhadap tekanan asing.
Namun, pihak yang lebih progresif secara sukses berargumen jika ASEAN dapat menyediakan penyeimbang antara rezim dan kritik dari luar negeri.
Itu juga akan membantu Myanmar menyeimbangkan hubungan penuh masalah mereka dengan China.
Atas bagian itu, ASEAN mendapat tekanan dari mitra dialog AS dan Eropa agar tidak melanjutkan keanggotaan Myanmar.
Namun ASEAN merasa keanggotan Myanmar akan memperkuat pengaruh kelompok tersebut.
ASEAN juga sedikit berambisi untuk membebaskan Myanmar dari pengaruh China, yang diperkuat oleh sanksi Barat.
Lagipula, Myanmar juga relatif belum berkembang dan kaya akan sumber daya alam dan menawarkan potensi pasar untuk barang dan teknologi.
Sampai baru-baru ini, keputusan bergabung dengan ASEAN tampaknya terbayarkan.
Keanggotaan telah membantu pemerintahan penerus di Myanmar melawan pengaruh China dan menahan tekanan dari luar negeri.
Hal itu juga membantu investasi asing masuk ke Myanmar dan kemungkinan menjadi satu hal yang mendorong Barack Obama membuat kebijakan "hubungan pragmatis".
Kritik ASEAN terhadap pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan Myanmar, contohnya terhadap umat Muslim Rohingya, telah diabaikan.
Itulah sebabnya, kudeta 1 Februari telah mengejutkan ASEAN, yang dengan cepat bertemu untuk merumuskan sebuah respon.
Pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, diundang untuk menghadiri acara tersebut.
Namun hasil "Konsensus Lima Poin" berasa tak punya aji, dan sejak saat itu junta telah menolak izin bagi perwakilan ASEAN untuk bertemu dengan pemimpin yang diasingkan, Aung San Suu Kyi.
Hal inilah yang kemungkinan mendorong ASEAN tidak mengundang Min Aung Hlaing ke pertemuan ASEAN bulan ini.
Menurut sebuah pernyataan yang disampaikan pemimpin ASEAN, "situasi di Myanmar berdampak pada keamanan regional seperti halnya perdamaian, kredibilitas, dan sentralitas ASEAN sebagai organisasi berdasarkan aturan."
Seorang perwakilan "non-politik" dari Myanmar akan diperbolehkan menghadiri pertemuan yang akan datang, tapi hal ini secara efektif mengesampingkan siapa pun yang penting dari junta atau Pemerintah Persatuan Nasional bayangan.
Mengingat keanggotan ASEAN yang melibatkan beberapa bentuk demokrasi yang murni, dan kegagalan berulang ASEAN untuk berbicara kepada populasi Myanmar yang tertekan, pernyataan ketua ASEAN layaknya standar ganda.
Seperti ditulis komentator Bertil Linter, kemungkinan pernyataan hadir karena pengaruh ASEAN yang turun dan ketakutan atas opini populer jika ASEAN tidak memiliki dampak pada perkembangan di Myanmar.
Junta telah menuduh ASEAN mengabaikan prinsip yang dipegang ketika ASEAN didirikan dan mengganggu hubungan dalam negeri Myanmar.
Memang, beberapa jenderal yakin jika ASEAN telah mengambil pihak dengan musuh-musuh junta, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Atas hal ini, tidak mengejutkan jika mereka mempertimbangkan membuat Myanmar keluar dari ASEAN.
Myanmar memiliki catatan panjang melakukan semuanya sendiri.
Contohnya, mereka merupakan anggota pendiri dari Gerakan Non-Blok pada 1961, tapi meninggalkan GNB pada 1979 ketika mereka mulai berpihak pada Blok Kiri.
Semangat itu sendiri tetap tumbuh, dengan konstitusi 2008 yang disusun oleh rezim militer sebelumnya, menyatakan jika Myanmar seharusnya mengejar "kebijakan luar negeri non-blok, independen dan aktif."
Visi itulah yang diusahakan baik oleh pemerintahan militer dan pemerintahan sipil.
Pemikiran militer Myanmar selalu sulit dipahami, tapi jenderal telah selalu memegang prinsip jika Myanmar harus mandiri.
Mereka juga yakin jika hanya mereka yang tahu apa yang terbaik untuk keberhasilan mereka selamat sebagai negara bersatu dan berdaulat.
Dengan pemikiran ini, rezim militer penerus telah dengan kuat menolak tekanan eksternal, dan telah berniat untuk melakukan sesuai cara mereka sendiri, tidak peduli dengan biayanya, bagaimana tanggapan manusia dan lainnya.
Baca Juga: Myanmar Negara yang Terletak Paling Utara di ASEAN, Punya Iklim Paling Unik
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini