Intisari-Online.com – Yoshiko Kawashima adalah seorang putri Dinasti Qing, yang merupakan keturunan dari etnis minoritas Mancu di China.
Tetapi, dia bukanlah bangsawan biasa karena dia bekerja sebagai mata-mata Jepang selama Perang China-Jepang Kedua.
Karena perannya yang signifikan dalam peran itulah, ia memberi gelar Mata Hari dari Timur Jauh.
Lahir pada tahun 1907, Yoshiko Kawashima lahir dengan nama Aisin Gioro Xianyu.
Dia adalah salah satu dari 38 anak yang lahir dari Pangeran Shanqi, seorang pangeran Manchu yang terkait dengan Dinasti Qing.
Pada tahun 1911, Revolusi Tiongkok atau Revolusi Xinhai mengakhiri dinasti kekaisaran terakhir Tiongkok, kemudian melahirkan Republik Tiongkok.
Teman Jepang ayahnya, Nanima Kawashima, mengadopsi Aisin Gioro pada usia 8 tahun.
Dia kemudian tinggal di mansion Naniwa di Tokyo, kemudian dia diberi nama Yoshiko Kawashima, nama yang akan digunakan selamanya.
Yoshiko Kawashima, mematahkan semua stereotip seorang putri.
Selama masa remajanya, dia menunggang kuda ke sekolah, berpakaian seperti laki-laki bahkan memotong rambutnya menjadi bob.
Pada usia 20 tahun, ayah angkatnya mengatur pernikahannya dengan pangeran Mongol Ganjuurjab, sayangnya hanya bertahan beberapa tahun dan berakhir dengan perceraian.
Dia segera meninggalkan rumahnya dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat.
Pada tahun 1930, dia mendarat di Shanghai.
Ketika itu, Jepang memiliki hak khusus atas Manchuria, dan sejak penyatuan China pada tahun 1920-an, merasa terancam posisinya di tanah tersebut.
Tentara Kwantung Jepang di Manchuria pun memutuskan untuk mengambil tidnakan sendiri, dengan menanam bahan peledak lemah di sepanjang Jalur Kereta Api Manchuria Selatan yang dikuasai Jepang.
Mereka kemudian menuduh penyabot China atas tindakan ini dan menggunakannya sebagai dalih untuk menyerang Manchuria.
Setelah invasi Jepang ke Manchuria, namanya diubah menjadi Manchukuo, dan semuanya berada di bawah kendali mereka.
Dan skearang mereka hanya perlu membuatnya sah, dan untuk pekerjaan ini mereka memiliki kandidat yang sempurna, yaitu Yoshiko Kawashima.
Ketika berada di Shanghai, Kawashima bertemu dengan Ryukichi Tanaka, seorang ahli militer Angkatan Darat Jepang, kemudian dia bekerja untuk intelijen militer.
Dia kemudian bekerja sebagai mata-mata untuk Jenderal Kenji Doihara.
Jepang pun siap untuk mendirikan negara boneka Manchuria, dan mereka hanya membutuhkan boneka kekaisaran yang lentur.
Kawashima masuk karena dia mengenal baik Kaisar Qing Puyi yang digulingkan,jadilah wanita ini berperan membujuk sang kaisar menjadi penguasa boneka untuk Manchukuo.
Meskipun keterlibatannya diperdebatkan, Kawashima memainkan peran penting dalam Insiden Shanghai tahun 1932.
Menurut Ryukichi Tanaka, yang juga kekasih Kashima, dia dibayar 20.000 yen oleh Angkatan Darat Jepang untuk memperburuk ketegangan antara Jepang dan China di Shanghai.
Dia diduga memberikan setengah dari uang itu kepada Kawashima dengan instruksi untuk membayar orang-orang melakukan kerusuhan dan tawuran yang disertai kekerasan.
Kawashima kemudian mengambil alih komando pasukan 3.000-5.000 orang, yang ditugaskan untuk membantu menindas pasukan perlawanan Tiongkok di Manchukuo.
Dia berhasil dalam tugasnya dan Jepang mampu memadamkan pemberontakan dan mendapatkan tanah yang berharga.
Ketika kembali ke Tokyo, orang-orang menganggap Kawashima sebagai pahlawan, dan dia mulai menikmati ketenaran dan perhatiannya.
Dia sering melebih-lebihkan eksploitasinya, bahkan menganggap dirinya sebagai Joan of Arch Manchuria.
Seiring berjalannya waktu, popularitasnya menjadi gangguan bagi militer Jepang.
Yoshiko Kawashima segera menjadi sosok yang populer dan terkenal, tampil di siaran radio dan bahkan memberikan pidato publik, surat kabar pun menerbitkan serial cerita fiksi dan non-fiksi dari perbuatannya.
Popularitasnya yang meningkat menciptakan masalah dengan Tentara Kwantung Jepang, karena mereka menganggap nilainya sebagai aset telah berkurang.
Nada kritis Kawashima terhadap kebijakan militer Jepang di Manchukuo mengurangi nilainya sebagai simbol propaganda.
Pada tahun 1940, Kawashima pun memudar dari pandangan publik, melansir Museum Fact.
Dia pun pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan akhirnya menetap di Beijing yang diduduki Jepang.
Menjelang akhir tahun 1930-an, Kawashima kecanduan opium dan kondisi mentalnya perlahan-lahan memburuk.
Pada tahun 1945, dia kembali ke Beijing yang diduduki Jepang dan tinggal di sana sampai akhir Perang Dunia II.
Setelah Jepang menyerah secara resmi pada September 1945, pasukan Tiongkok mendapatkan kembali semua wilayah mereka yang hilang termasuk Beijing.
Keputusan Kawashima untuk tinggal di Beijing mungkin bukan yang terbaik.
Soalnya ayah angkat Kawashima tidak pernah mendaftarkannya secara resmi sebagai warga negara Jepang dan menurut catatan, Kawashima adalah warga negara China yang bekerja untuk militer Jepang dalam invasi ke tanah China. Dan ini tidak dapat diterima oleh orang Cina.
Pasukan China kemudian menangkap Kawashima, dan selama persidangannya, orang-orang menjulukinya sebagai hanjian, atau 'pengkhianat ras'.
Dia kemudian didakwa dengan pengkhianatan dan dijatuhi hukuman ditembak.
Pada 25 Maret 1948, Yoshiko Kawashima dieksekusi dengan tembakan peluru di bagian belakang kepalanya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari