"Kedua, baik Indonesia dan Malaysia memperhatikan kondisi lokal yang akan terjadi jika mereka membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
"Kebanyakan orang di negara-negara ini tetap pro-Palestina, dan dengan demikian pemerintah tidak ingin membahayakan stabilitas domestik atas hubungan dengan negara yang mereka anggap tidak penting."
Hal itu disetujui oleh Samuel Ramani, dosen hubungan politik dan internasional di Universitas Oxford.
Ia menekankan walaupun Mahathir Mohammad, yang sering dituduh anti-semit, sudah mundur dan hubungan Malaysia-Israel bisa tubuh, tapi akan tetap ada ketegangan bilateral.
Hal ini terutama setelah ada desas-desus menyebar luas bahwa Israel menargetkan operasi kelompok Islam Palestina, Hamas, di Malaysia selama konflik Gaza Mei kemarin.
Ramani menambahkan: "Saya pikir Israel memandang Kesepakatan Abraham sebagai batu loncatan yang mungkin bagi negara-negara Teluk lainnya, seperti Arab Saudi, Oman dan mungkin Qatar, untuk menormalisasi dengan Israel. Ini juga mengharapkan normalisasi yang lebih cepat di Afrika, seperti seperti Niger atau Mauritania. Normalisasi antara Israel, Malaysia, dan Indonesia selalu dianggap sebagai prospek yang lebih jauh, dan inilah yang terjadi."
Akhir Juni lalu Indonesia bersikeras tidak mencari cara membuka hubungan diplomasi dengan pemerintahan baru Israel yang dipimpin Perdana Menteri Naftali Bennett.
Hal ini disampaikan setelah datangnya dubes Israel untuk Singapura, Sagi Karni.
KOMENTAR