Intisari - Online.com -Perundingan untuk menyelesaikan kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 kembali dilanjutkan di Wina, sayangnya menurut analis politik senior Al Jazeera, Marwan Bishara, hal ini mengulang kembali kesalahan dahulu.
Mengutip artikelnya yang tayang di Al Jazeera, Bishara menyebut kondisinya masih sama saja: Amerika Serikat (AS) memperingatkan serangkaian sanksi, Israel mengancam perang, Eropa hanya ikut tunduk dan Arab menonton dari samping, saat Iran ingin pembicaraan dilaksanakan dengan cepat dan mereka ingin mempercepat pengkayaan uranium.
Namun kali ini tampaknya ada satu perbedaan yaitu diplomasi tampaknya gagal, membuka pintu terbuka untuk beberapa skenario.
Skenario tersebut merupakan arahan dari mantan Presiden AS Donald Trump dan kepercayaannya di Timur Tengah, mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yaitu perang dan kemungkinan Iran menjadi negara nuklir.
Lagipula, Trump pula yang memutuskan menghancurkan kesepakatan nuklir tahun 2015.
Setelah berulang kali mengutuk perjanjian tersebut sebagai perjanjian "bencana" dan "busuk", ia meninggalkannya tahun 2018 atas dasar tuduhan yang tidak berkaitan.
Bishara menyebut Trump juga memperburuknya dengan menerapkan sanksi-sanksi baru kepada Iran, termasuk sanksi kedua untuk pihak ketiga yang melakukan perdagangan dengan Iran, dan memerintahkan pembunuhan jenderal Iran, Qassem Soleimani.
Menurut Bishara, karena dikekang, Iran akhirnya mengamuk ke semua arah.
Paling penting, Iran memperbaharui program pengkayaan uranium mereka, membawanya ke tingkat untuk penggunaan senjata.
Setelah Presiden AS Joe Biden menjabat Januari lalu, ia gagal menggunakan kesempatan kecil untuk menghapus kebijakan pendahulunya dan meneruskan kesepakatan pada semester pertama 2021.
Upayanya mengeksploitasi sanksi Trump untuk memaksa Teheran menerima kondisi baru justru merugikannya.
Agustus kemarin, Ebrahim Raisi, ulama terkemuka dan anak didik Pemimpin Agung Ali Khamenei, terpilih menjadi presiden Iran.
Kini, Teheran bersikeras kembalinya mereka ke kesepakatan dengan syarat pemerintahan Biden mengangkat 'semua sanksi' yang diberikan setelah 2017, baik sanksi yang berkaitan dengan nuklir atau bukan.
Mereka mengharapkan Washington menyediakan jaminan yang diperlukan jika tidak ada administrasi di masa depan bisa membuang kesepakatan itu lagi.
Iran juga akan menunggu bukti jika sanksi benar-benar diangkat sebelum bergerak menuju kesepakatan tersebut.
Mereka juga menolak diskusi apapun terkait sistem rudal dan peran regional mereka.
Untuk bagiannya, Washington mengharapkan Iran kembali ke status quo dan membuang semua uranium yang berhasil diperkaya dan sentrifugal mereka yang memproduksi uranium diperkaya sebelum sanksi terkait nuklir diangkat.
AS bersikeras sanksi lain akan diangkat jika Iran mengubah perilaku destabilisasi mereka di Timur Tengah.
AS juga bersikeras perlunya kesepakatan yang lebih komprehensif dan lebih permanen yang menjamin Iran tidak akan memproduksi senjata nuklir lagi.
Pendeknya, karena ketidakpercayaan mengakar dalam dan ekspektasi semakin liar, kembalinya kondisi kepada kesepakatan tahun 2015 tampaknya tidak mungkin dan sangat tidak efisien untuk menyelesaikan masalah nuklir ini.
Inilah mengapa administrasi Biden sedang mempersiapkan Rencana B, yang termasuk tekanan diplomasi lebih kuat dan sanksi ekonomi lebih keras terhadap Iran.
Namun menurut Bishara sekali lagi, ini merpakan kebijakan yang telah dicoba dan gagal berulang kali.
Menurut Bishara apa gunanya menggunakannya lagi, mengingat Iran bisa mempercepat pengkayaan uranium mencapai 90% yang diperlukan untuk menjadi negara nuklir, sementara pemerintahannya yang keras mendorong "pertahanan ekonomi" melawan imperialisme AS.
Jika AS tidak memainkannya dengan hati-hati, mereka akan sendirian menghadapi Iran yang kuat.
Rusia dan China tidak akan bergabung dengan kampanye tekanan melawan Iran mengingat ketegangan antara mereka dengan pemerintahan Biden, dan diragukan juga jika Eropa akan bergabung tanpa ada garis akhir tampak.
Inilah sebabnya AS memperingatkan jika "semua pilihan disediakan" tapi menurut Bashari, AS sudah berulang kali mengecewakan dunia dengan baru-baru ini Taliban di Afghanistan justru menang, kemudian dalam urusan Ukraina, Taiwan, Venezuela, Suriah, Korea Utara dan sebagainya.
Beberapa laporan kini mengatakan administrasi Biden mulai menyiapkan pilihan perang kepada Israel, mengingat Israel satu-satunya kekuatan nuklir dengan lampu hijau untuk bisa bertindak militer melawan program nuklir Iran, yang mana bisa memimpin terjadinya perang regional.
Namun, tidak ada dari Washington atau Teheran yang berminat pada ketegangan militer, strategi Biden adalah untuk menarik pasukan militer dari titik-titik panas Timur Tengah, bukan menciptakan neraka melebihi perang Irak.
Dan walaupun pernyataannya keras, Khamenei menunjukkan kehati-hatian tidak menarik Iran ke dalam konfrontasi militer dengan AS, yang bisa menghancurkan status Republik Islam, melemahkan rezimnya dan merusak posisi regional.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini