Advertorial
Intisari - Online.com -Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak ingin bangsa Indonesia masih memiliki mental inlander, inferior dan terjajah sebagai identitas bangsa.
Seperti dalam pidatonya di 10 tahun Perayaan Partai Nasional Demokrat yang diadakan di gedung Akademi Bela Negara (ABN) Partai Nasdem, Jakarta, Kamis 11 November lalu.
Jokowi mengakui jika Indonesia telah menderita dari kolonialisme terlalu lama, selama 350 tahun.
Namun faktanya Indonesia telah merdeka selama 76 tahun.
Kemerdekaan tersebut juga tidak didapat dari pemberian, tetapi dari perjuangan bangsa.
"Saya tidak ingin mental inferior, inlander atau mental terjajah masih mengakar di pemikiran bangsa kita," ujarnya.
"Tapi DNA kita yang masih saya pikirkan, mungkin kita punya mental terjajah, inlander itu karena DNA tersebut diturunkan dari 350 tahun penjajahan," kritiknya.
"Mental seperti itu seharusnya tidak dipertahankan," ujarnya.
Indonesia adalah negara besar dengan sejarah besar, dan Jokowi ingin semua warganya menggunakan hal ini untuk mempengaruhi kebijakan dunia dengan cara apapun.
"Ketemu bule ya sama kayak ketemu siapa aja. Menyedihkan bagi kita. Terkadang kita melihat mereka terlalu tinggi seperti ini," ujar Jokowi sambil memberi contoh kepala menengadah ke atas.
"Kita itu sama dengan mereka, makan nasi," lanjutnya.
Peran Indonesia di dunia internasional telah sangat diperhitungkan.
Indonesia juga secara meningkat dianggap bernilai, dihormati dan dilihat oleh negara-negara lain.
"Namun seringnya di dalam negara sendiri Indonesia direndahkan," ujarnya.
Lantas, mengapa mental terjajah dan merendahkan kemampuan bangsa serta mengagung-agungkan bule ini masih ada sampai sekarang?
Hal ini karena kolonialisme masih memiliki dampak dalam masyarakat politik Indonesia dan ekspresi agama di lingkung politik, seperti disampaikan oleh penelitian yang diterbitkan di Berkley Center.
Artikel yang tidak disebutkan siapa penulisnya tersebut mengatakan jika warga Indonesia telah mengembangkan apa yang disebut sebagai "inferiority complex kultural".
Banyak yang secara sadar atau tidak sadar jika budaya Barat jauh lebih unggul dibandingkan budaya Indonesia.
Hal ini tentu saja sangat salah.
Namun mental ini telah berkembang sebagai hasil berabad-abad kolonialisme Belanda dan menjadi bagian lebih besar dari fenomena global karena pemikiran Orientalis dan maraknya beasiswa ke negara-negara Barat.
Tentu sudah banyak yang tahu, bule di Indonesia diperlakukan seperti selebritis yang secara otomatis memegang status sosial lebih tinggi dari warga Indonesia, entah siapa mereka.
Padahal bule-bule tersebut sering sekali merasa tidak nyaman.
Mereka sering diajak foto-foto orang Indonesia layaknya mereka pangeran dan putri di Disneyland, terus-terusan dibilang cantik dan ganteng oleh orang-orang asing.
Memang tampaknya pujian, tapi sebenarnya bukan.
Bule dianggap lebih cantik atau ganteng hanya karena kulit putih, hidung mancung serta rambut berwarna pirang, sebuah standar kecantikan dan ketampanan yang lair dari mindset kolonial dan standar kecantikan Barat yang sudah usang.
Obsesi warga Indonesia terhadap kulit putih ini tidak berhenti, bahkan tidak hanya di Indonesia tapi malah menyebar ke seluruh Asia, karena pemikirannya sama, yaitu kulit putih tampak lebih menarik dibandingkan kulit sawo matang.
Mengutip The Diplomat, kulit hitam atau sawo matang telah lama dianggap kulit yang muncul karena bekerja di lapangan dan menunjukkan kemiskinan.
Sementara itu kulit putih atau pucat menunjukkan kehidupan lebih nyaman di dalam ruangan, kosmopolit, jauh dari paparan sinar matahari.
Tidak bisa dihindari, warna kulit menjadi tanda kelas sosial di Indonesia dan negara Asia lainnya.
Walaupun tren kulit putih dan produk kecantikan untuk memutihkan kulit sudah banyak diprotes, masih banyak wanita dan pria yang menginginkan memiliki kulit putih.
Permasalahan kulit hanyalah salah satu dari berbagai bentuk inferiority complex yang mendarah daging di warga Indonesia.
Sayangnya, inferiority complex ini yang membuat banyak turis datang ke Indonesia dan bertingkah sembarangan seperti banyak yang terjadi di Bali, terang-terangan tidak menghormati warga Indonesia sebagai pemilik negara.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini