Kontrak bagi hasil atau production sharing cost (PSC) dipakai untuk menjalankan aktivitas hulu migas di Indonesia, yang mengoptimalkan penerimaan negara dan juga melindungi dari paparan risiko tinggi terutama pada fase eksplorasi.
Kontrak merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS), dalam kerja sama itu, pemerintah diwakili Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Sistem PSC membuat negara sebagai pemilik sumber daya dan kontraktor sebagai penggarap sedangkan modal atau investasi disediakan kontraktor. Kemudian, pengembalian biaya investasi diambilkan dari hasil produksi (cost recovery), dan pengeluaran untuk investasi disepakati kedua belah pihak, sedangkan risiko investasi di masa eksplorasi ditanggung kontraktor, dan jika invetasi bersifat dry hole atau tidak ada cadangan yang ekonomis, maka tidak ada pengembalian biaya investasi karena tidak ada produksi yang dihasilkan.
Pada skema cost recovery, sumber daya migas tetap menjadi milik negara sampai pada titik serah.
Selama sumber daya migas masih berada dalam wilayah kerja pertambangan atau belum lepas dari titik penjualan yaitu titik penyerahan barang, maka sumber daya alam migas tersebut masih menjadi milik pemerintah Indonesia.
Perdebatan muncul dari penentuan porsi negara dibandingkan kontraktor menggunakan skema cost recovery, dan setiap tahunnya tren cost recovery meningkat, seperti pada 2010 cost recovery sekitar USD 11,7 miliar meningkat menjadi USD 16,2 miliar tahun 2014.
Kebijakan capping cost recovery tahun 2017-lah yang megubah penerimaan migas bagian pemerintah naik sebesar USD 12,7 miliar.
Berpijak pada persoalan itulah, pemerintah mengeluarkan opsi skema bisnis hulu migas yang baru yaitu gross split.
KOMENTAR