Pantesan Pernah Dirumorkan Tambang Minyak Indonesia Dikuasai Asing Gara-gara Hal Ini, Ekonom Indonesia Ini Beberkan Begini Skema Pengelolaan Tambang Minyak di Indonesia

May N

Penulis

Ilustrasi migas, AVEVA, Schlumberger
Ilustrasi migas, AVEVA, Schlumberger

Intisari - Online.com -Sudah banyak beredar isu dan desas - desus tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia, termasuk minyak dan gas (migas) dikuasai pihak asing.

Isu ini menguat setiap kali menjelang pemilihan di Indonesia, seperti ketika pemilihan presiden dan pemilihan legislatif 2019.

Kabar juga sempat muncul pada pemilihan 2014, yaitu peta Indonesia yang dipenuhi dengan gambar bendera negara lain.

Peta itu tersebar di sejumlah daerah, menunjukkan pihak asing menguasai sumber daya alam berupa migas di sejumlah daerah.

Baca Juga: Masih Terjerat Status Negara Miskin Kala Sumur Minyaknya Segera Mengering, Timor Leste Pasrah Membagi Hasil Minyaknya dengan Australia, Itu pun Jumlahnya Tak Pasti

Faisal Basri, ekonom Indonesia, tahun 2016 lalu menjelaskan perusahaan pemilik sumur migas terbanyak di Indonesia adalah perusahaan nasional yang dimiliki negara.

Ia pun menjelaskan, negara-negara yang menggarap sumur migas di Indonesia tak serta merta menguasai atau memiliki lapangan migas tersebut.

Selain itu, Faisal Basri saat itu mengajak masyarakat untuk meneliti isi kontrak kerja sama pengelolaan migas.

Pasalnya, sektor hulu migas di Indonesia memiliki skema kontrak kerja sama yang spesifik, baik proses pencarian cadangan atau yang biasa disebut eksplorasi maupun proses pengambilan atau yang disebut eksploitasi.

Baca Juga: Pantesan Tetap Terperangkap dalam Status Negara Termiskin Meski PunyaCadangan Minyak, Ternyata Uang Timor Leste Selalu Habis Gara-gara Proyek-proyek 'Hantu' Ini

Kontrak bagi hasil atau production sharing cost (PSC) dipakai untuk menjalankan aktivitas hulu migas di Indonesia, yang mengoptimalkan penerimaan negara dan juga melindungi dari paparan risiko tinggi terutama pada fase eksplorasi.

Kontrak merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS), dalam kerja sama itu, pemerintah diwakili Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Sistem PSC membuat negara sebagai pemilik sumber daya dan kontraktor sebagai penggarap sedangkan modal atau investasi disediakan kontraktor. Kemudian, pengembalian biaya investasi diambilkan dari hasil produksi (cost recovery), dan pengeluaran untuk investasi disepakati kedua belah pihak, sedangkan risiko investasi di masa eksplorasi ditanggung kontraktor, dan jika invetasi bersifat dry hole atau tidak ada cadangan yang ekonomis, maka tidak ada pengembalian biaya investasi karena tidak ada produksi yang dihasilkan.

Pada skema cost recovery, sumber daya migas tetap menjadi milik negara sampai pada titik serah.

Baca Juga: Bukannya Untung Malah Buntung, ProyekRp255 Triliun Dipastikan Jadi AmpasSetelahChina Menolaknya, Impian Timor Leste Ini Dipastikan Kandas Cuma Gara-gara Faktor Ini

Selama sumber daya migas masih berada dalam wilayah kerja pertambangan atau belum lepas dari titik penjualan yaitu titik penyerahan barang, maka sumber daya alam migas tersebut masih menjadi milik pemerintah Indonesia.

Perdebatan muncul dari penentuan porsi negara dibandingkan kontraktor menggunakan skema cost recovery, dan setiap tahunnya tren cost recovery meningkat, seperti pada 2010 cost recovery sekitar USD 11,7 miliar meningkat menjadi USD 16,2 miliar tahun 2014.

Kebijakan capping cost recovery tahun 2017-lah yang megubah penerimaan migas bagian pemerintah naik sebesar USD 12,7 miliar.

Berpijak pada persoalan itulah, pemerintah mengeluarkan opsi skema bisnis hulu migas yang baru yaitu gross split.

Baca Juga: Bak Jatuh Tertimpa Tangga, Ladang Minyak Timor Leste yang Jadi Satu-satunya Penyokong Ekonomi Akan Segera Mengering, Lebih Parah Lagi Ladang Tersebut Ternyata Menyimpan Malapetaka Ini

Awal 2017, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan skema kontrak dengan pembagian hasil berdasarkan produksi (gross split).

Dengan skema baru itu, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor KKS.

Berbeda dengan skema cost recovery, di mana biaya operasi pada akhirnya menjadi beban pemerintah. Oleh karenanya, kontraktor akan lebih memperhatikan efisiensi biaya operasi.

Dalam gross split, perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan Kontraktor KKS diperhitungkan di awal.

Baca Juga: Tak Kunjung Lepas dari Kemiskinan Meski Ladang Minyaknya Bakal Kering Total 2 Tahun Lagi, Timor Leste Pilih Jejali Bekas Tambangnya dengan Gas Berbahaya Ini, untuk Apa?

Melalui skema ini, negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Hasilnya, penerimaan negara menjadi lebih pasti.

Lewat skema baru itu, negara tidak akan kehilangan kendali sebab penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting, serta pembagian hasil tetap di tangan pemerintah. Perhitungan gross split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja.

Perhitungan yang pasti terdapat pada persentase bagi hasil base split. Untuk base split minyak, pembagiannya adalah 57 persen untuk negara dan 43 persen Kontraktor KKS. Sementara, pembagian untuk gas bumi 52 persen untuk negara, 48 persen untuk kontraktor.

Selain persentase base split, Kontraktor KKS berpeluang akan mendapat tambahan bagi hasil dari variable split dan progressive split. Variable split ditentukan berdasarkan penilaian terhadap 10 parameter yang mewakili tingkat kesulitan dari pengembangan lapangan migas.

Baca Juga: Pantas Sampai Bisa Rebut Ladang Minyak dari Genggaman Australia, Ternyata Timor Leste Sewa Konsultan Hukum Elite, Tarifnya Rp19 Juta per Satu Jam Konsultasi

Parameter variable split terdiri dari status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur, jenis reservoir, kandungan C02, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan tahapan produksi (primary, secondary, atau tertiary).

Sedangkan, progressive split ditentukan berdasarkan perubahan terhadap tiga parameter yang berdampak langsung terhadap pendapatan kotor terhadap waktu. Tiga parameter tersebut adalah harga minyak, harga gas, dan produksi kumulatif.

Misalnya, Kontraktor KKS akan mendapat tambahan split jika wilayah kerjanya memiliki tingkat kesulitan tinggi.

Selain itu, Kontraktor KKS juga akan mendapat tambahan split jika persentase penggunaan komponen lokal lebih besar.

Baca Juga: Hanya Sisakan 'Kerak' Usai Nyaris Dikuras Habis Australia Selama Lebih dari Setengah Abad, Sisa-sisa Ladang Minyak Ini Baru Bisa Dikeruk Timor Leste Usai Aksi Culas Negeri Kanguru Terbongkar

Eks-Menteri Ignasius Jonan menegaskan di tahun 2018, pemerintah bisa mengurangi beban APBN dengan skema gross split.

Pasalnya, biaya operasi tak lagi dibebankan ke negara melainkan ke kontraktor migas. Dengan skema gross split, Kontraktor KKS diharapkan dapat lebih efisien dalam menjalankan investasinya di Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah tak lagi disibukkan dengan cost recovery sebagai bagian dari skema bisnis sebelumnya.

Lewat skema gross split, sumber daya alam migas merupakan milik negara sampai dengan titik penyerahan. Pembagian hasil produksi yang telah disepakati dalam kontrak dilakukan di titik penyerahan. Hal itu diatur dalam pasal 6 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Baca Juga: Sok Suci Pakai Dalih Lingkungan Demi Puaskan Nafsu Mengeruk Bumi Sampai ke Keraknya, Perusahaan Australia Siap Kuras Minyak Timor Leste Hingga Tandas, Aktivis pun Meledeknya

Dengan adanya skema bisnis baru ini, SKK Migas sebagai perwakilan pemerintah dalam bisnis industri hulu migas tetap memiliki kewenangan, meskipun tugas dalam perhitungan dan pengawasan cost recovery tidak ada lagi.

Tugas SKK Migas bukan lagi memeriksa biaya, melainkan memiliki fokus baru di bidang produksi, eksplorasi, keamanan, dan keselamatan kerja.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait