Intisari - Online.com -Tokoh pahlawan Indonesia, Pangeran Diponegoro, adalah sosok yang berpengaruh untuk Indonesia.
Ia merubah lanskap Pulau Jawa lewat Perang Jawa yang ia pimpin.
Tokohnya sendiri begitu berpengaruh semasa ia hidup, sehingga ia disebut-sebut sebagai Ratu Adil atau juru penyelamat ketika masyarakat Jawa dijajah oleh Bangsa Belanda.
Sosoknya juga dianggap "setengah dewa" oleh pengikutnya.
Pangeran Diponegoro ternyata pernah marah dan menampar Patih Yogyakarta yang munafik dan korup, yaitu Danurejo IV (menjabat 1813 - 1847) dengan selop.
Mereka bertengkar karena penyewaan tanah kerajaan kepada bangsa Eropa sebelum Perang Jawa.
Begitulah sifat Pangeran Diponegoro yang terkenal antikorupsi dan cermat dengan uang, yang terbukti dalam pengaturan dana hidup ketika ia diasingkan.
BukuTakdir: Riwayat Pangeran Diponegoro(2014) danKuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa(2012) oleh sejarawan Universitas Oxford, Peter Carey, menuliskan ada cerita-cerita yang tidak terduga dari pangeran Diponegoro yang bahkan disebut "lebih aneh dibandingkan khayalan".
Baca Juga:Inilah Jawaban Sebenarnya Mengapa Pemerintah Hindia Belanda Paksa Laksanakan Tanam Paksa
Salah satunya adalah hubungan pangeran dengan para wanita.
Babad Dipanegara, kisah yang ditulis Diponegoro ketika ia dibuang di Manado, ia menjelaskan dirinya sebagai Arjuna, tokoh Pandawa yang paling tampan.
Menurut Peter Carey sendiri untuk penampilan fisik, Diponegoro tidak dapat disebut setampan Arjuna, tapi bisa dikatakan "cukup enak dipandang oleh mata Jawa."
Ia menikah beberapa kali, pada pernikahannya yang pertama ia menikah dengan anak seorang ulama terkemuka dari Desa Dadapan, dekat Tempel, yaitu Raden Ayu Madubrongto.
Namun ia kemudian menikah lagi dengan Raden Ayu Retnokusumo atas desakan orangtuanya, Sultan Hamengkubuwono III, dalam sebuah pernikahan sarat politik karena Raden Ayu Retnokusumo adalah putri Bupati Panolan, Kesultanan Yogyakarta, Raden Tumenggung Notowijoyo III.
Sepanjang hidupnya Diponegoro memiliki tujuh istri resmi dan selir yang tidak terhitung banyaknya, di Tegalrejo ia memiliki 4 istri resmi dan beberapa selir.
Ada seorang selirnya yang terakhir konon cukup cantik sampai memancing sifat mata keranjang Asisten Residen Belanda untuk Yogyakarta, P.F.H Chavelier (1823-1825).
Selir itu dikabarkan hidup bersama asisten residen beberapa bulan sebelum Perang Jawa.
Peter Carey mencatat Diponegoro memiliki 17 anak, 12 laki-laki dan 5 perempuan, semua dari istri-istri resminya.
Kemudian di masa perang pasca kematian istri keempat sekaligus istri yang paling dikasihinya, Raden Ayu Maduretno pada November 1827, ia menikahi 3 istri baru.
Salah satunya adalah Raden Ayu Retnoningsih (1810-1885), putri Bupati Madiun serta kemenakan perempuan Raden Ronggo Prawirodirdjo III.
Raden Ayu Retnoningsih masih berusia 17 tahun ketika dinikahi Diponegoro, dan sebagai satu-satunya istri resmi yang menemani Diponegoro dalam pengasingan, Raden Ayu Retnoningsih memberi dua anak untuk Diponegoro.
Diponegoro memang lemah terhadap perempuan, daya tariknya sangat besar bagi kaum hawa, dan ia mengakui sifat yang mengganggu di masa mudanya adalah "sering tergoda oleh perempuan".
Diponegoro juga bangga dalam keahliannya menaklukkan hati wanita, seperti diceritakan Residen Manado Pietermaat (menjabat 1827-1831) jika “percakapan yang paling digemarinya adalah tentang perempuan-perempuan yang melihatnya sebagai seorang kekasih yang menawan.”
Peter Carey juga mengatakan ketika Diponegoro sakit malaria ketika 3 bulan akhir perang, ia masih mampu bermain-main dengan janda-dukun, Nyai Asmaratuna, yang merawatnya di Desa Sebodo di timur Bagelen.
Di Manado Pangeran Diponegoro juga pernah ingin menikahi perempuan setempat yaitu putri dari seorang warga Muslim terkemuka, Letnan Hasan Nur Latif.
Ayah putri itu menolak karena jika ia menikahkan putrinya dengan Diponegoro hanya akan membawa putri kepada nasib buruk.
Kemudian ada fakta yang jarang diketahui orang yaitu selama Perang Jawa, Pangeran Diponegoro menganggap Gawok, luar Surakarta, 15 Oktober 1826, menjadi lokasi kekalahannya yang terbesar.
Ternyata di Gawok sebelum pertempuran berlangsung, ia tidur dengan seorang perempuan muda China yang bukan istri resminya bukan pula selirnya.
Perempuan itu adalah tawanan perang di Kedaren dan Diponegoro mempekerjakannya sebagai tukang pijatnya.
Skandal itu disesali Diponegoro dan ia anggap alasan kekalahan sekaligus penyebab ia terluka di bagian dada dan tangan, dan ia menganggap kesenangan seksualnya telah menetralkan kekebalannya.
Selanjutnya ia melarang komandannya berhubungan intim dengan ras campuran China-Indonesia, dan Diponegoro memperingatkan jika hubungan dengan kaum peranakan bisa membawa sial, dengan contoh yang ia pakai kemudian adalah saudara iparnya, Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo, kehilangan pengaruhnya pada 1827-1828 di pantai utara Jawa karena ia memperkosa seorang wanita China ketika pasukannya memasuki kota Lasem yang menjadi lingkungan mayoritas peranakan China.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini