Penulis
Intisari - Online.com -Perang Diponegoro adalah salah satu perang besar di era penjajahan kolonial Belanda.
Diponegoro sendiri adalah sosok yang menarik untuk diceritakan.
Diponegoro, yang juga dikenal sebagai Raden Mas Ontowirjo, lahir pada 1785 di Yogyakarta, Pulau Jawa.
Dilansir dari Britannica, ia adalah pemimpin Jawa dalam konflik abad ke-19 yang dikenal pihak Barat sebagai Perang Jawa dan bagi orang Indonesia dikenal sebagai Perang Diponegoro.
Baca Juga: Inilah Jawaban Sebenarnya Mengapa Pemerintah Hindia Belanda Paksa Laksanakan Tanam Paksa
Kesultanan Jogjakarta dibentuk pada 13 Februari 1755, berdasarkan perjanjian Belanda yang memecah-belah kerajaan Mataram yang dulunya berkuasa di Jawa.
Meskipun Diponegoro adalah putra sulung dari penguasa ketiga Yogyakarta, Sultan Amangku Buwono III, ia dialihkan untuk suksesi pada tahun 1814 setelah kematian ayahnya dan digantikan oleh seorang putra yang ibunya lebih tinggi, tetapi ia dijanjikan takhta jika saudara tirinya mendahuluinya.
Dia adalah orang yang sangat religius yang selama periode itu hidup dalam pengasingan meditatif, dan sejarawan tidak setuju apakah dia menginginkan tahta atau apakah dia menolaknya demi kehidupan kontemplatif.
Namun tidak ada keraguan jika selama 1820-an Diponegoro mendapat konflik dengan pejabat Belanda dan tahun 1825 ia muncul sebagai pemimpin aristrokrat yang tidak terdampak di wilayah Yogyakarta.
Perang Jawa sendiri aslinya dipicu oleh serangkaian reformasi tanah yang kejam yang melemahkan posisi ekonomi para bangsawan Jawa.
Ada masalah mistis dalam konflik itu sendiri, muncul dari sumber Jawa tradisional dan Muslim.
Diponegoro dianggap sebagai Ratu Adil, kepercayaan di Jawa yang percaya akan ada seseorang yang menyelamatkan orang-orang kecil ketika zamannya sudah kacau.
Namun perjuangannya juga dilihat sebagai jihad Muslim melawan Belanda.
Diponegoro memiliki pengaruh kuat di wilayah Yogyakarta dan ia berhasil melancarkan perang gerilya.
Perang tersebut termasuk sukses untuk hampir 3 tahun.
Namun pada akhir 1828, pasukan Belanda memenangkan kemenangan besar yang membuktikan titik balik di perang tersebut.
Di bawah Jenderal H. Merkus de Kock, Belanda berhasil mengembangkan sistem pos-pos kecil yang saling melindungi yang dihubungkan oleh jalan yang baik yang memungkinkan mereka untuk memadamkan perang gerilya penduduk asli.
Pada tahun 1830 Diponegoro setuju untuk bertemu dengan perwakilan Belanda untuk negosiasi damai, tetapi dalam pertemuan itu ia ditangkap.
Dia meninggal di pengasingan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini