Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan sifat hukum hasil Aksi Pilihan Bebas 1969 sudah sangat pasti.
Faizasyah mengatakan plebisit itu diadakan berdasarkan kesepakatan antara Indonesia, Belanda dan PBB dengan mekanisme persetujuan dan peraturan, termasuk sistem perwakilan.
Ia mengatakan sistem perwakilan masih relevan untuk kondisi sementara saat warga Papua kini familier dengan sistem 'noken' yang memperbolehkan wakil rakyat memberikan surat suara baik pada pemilihan umum maupun pemilihan daerah.
"Hasil plebisit kemudian dibawa ke Dewan Umum PBB dan diterima. Sehingga pertanyaan mengenai Aksi Pilihan Bebas sangatlah tidak masuk akal,"ujarnya.
Aksi Pilihan Bebas, ia sebutkan, adalah kesepakatan politik antara Indonesia dan Belanda setelah Indonesia mendapatkan bekas jajahan koloni VOC dari Sabang sampai Merauke.
"Setelah Konferensi Meja Bundar, Papua seharusnya diberikan ke Indonesia, tapi Belanda tidak melakukannya, dan akhirnya, ada proses politik," ujar Faizasyah.
Faizasyah menyebut hal yang mirip terjadi di Afrika di mana mereka terpisah dalam negara-negara kecil walapun secara etnis dan budaya mereka mirip.
"Afrika dijajah banyak negara. Sehingga setelah kemerdekaan, mereka dipisahkan oleh garis-garis kecil yang disetujui oleh para negara-negara kolonial," tambahnya.
KOMENTAR