Mereka memilih secara publik dan anonim untuk menghormati yurisdiksi Indonesia.
Namun banyak warga Papua tidak menerima hasil referendum, menyebutnya "aksi tanpa pilihan" karena mereka merasa pilihan itu tidak mewakili orang Papua.
Laporan mengenai pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan dan kekhawatiran kekayaan hutan dan tambang secara besar-besaran dimanfaatkan warga Indonesia di luar Papua kemudian menjadi bahan bakar ketegangan di Papua.
Sebelum referendum dilaksanakan, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto, telah menandatangani kontrak dengan perusahaan tambang di AS, Freeport-McMoran, untuk memulai aktivitas tambang di Grasberg, Papua.
Yan Warinussy, direktur dari Legal Aid, Institut Pengembangan, Investigasi dan Penelitian di Manokwari, Papua, mengatakan hasil referendum tahun 1969 menjadi penyebab warga Papua enggan masuk Indonesia.
"Bahkan warga non-Papua terlibat dalam referendum tersebut. Ini adalah masalah yang selalu diperdebatkan dari waktu ke waktu. Referendum 1969 tidak akan pernah bisa mewakili keinginan warga Papua," ujarnya.
Warinussy menekankan jika pemerintah Indonesia perlu "meluruskan" sejarah Papua yang mulai sejak referendum sehingga tidak akan menjadi pemicu konflik di Papua.
Status "Aksi Pilihan Bebas" sudah ditetapkan
KOMENTAR