Intisari-Online.com - Nama negara Sri Lanka menarik perhatian sampai beberapa waktu yang lalu setelah viral kabar mereka menjual salah satu pelabuhan strategis mereka untuk dikuasai China.
Pelabuhan tersebut adalah kompensasi yang diminta China karena Sri Lanka tidak mampu membayar utang mereka.
Hal ini yang kemudian disebut-sebut banyak pihak sebagai jebakan utang China dari proyek maha besar Belt and Road Initiative mereka.
China lewat Belt and Road Initiative (BRI), berupaya membangun skala besar-besaran di Asia, Afrika, serta jika mungkin di Eropa.
Tujuannya adalah untuk menciptakan jalur perdagangan dunia guna mempermudah ekspansi China.
Dengan program yang dimulai sejak 2012 ini, China memberikan pinjaman kepada negara-negara kecil yang membutuhkan dana untuk pembangunan infrastruktur.
Namun bunga dari pinjaman tersebut sangat tidak masuk akal.
Akhirnya negara-negara kecil ini tak mampu membayar utang mereka dan terpaksa menyewakan infastruktur yang dibangun tersebut ke China.
Sri Lanka termasuk negara yang merugi ini, bahkan mereka tidak punya pilihan lain selain menyewakan pelabuhannya selama 2 abad.
Pada bulan Mei 2021 lalu, Sri Lanka sepakat menyewakan pelabuhan Hambatota selama 99 tahun, dan tambahan waktu perpanjangan 99 tahun.
Pemerintah pendahulu di Sri Lanka menandatangani perjanjian sewa 99 tahun dengan China , untuk menutupi hutang China.
Para pengamat melihat perjanjian itu sebagai contoh utama dari "perangkap utang" yang dibuat oleh China.
Pelabuhan Hambantota yang terletak di selatan Sri Lanka merupakan tempat penting dalam perdagangan maritim di Samudera Hindia.
Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, pernah menyatakan ingin merundingkan kembali kesepakatan dengan Tiongkok, setelah ia berkuasa pada akhir 2019.
Namun pernyataan itu kemudian ditolaknya.
Pada 6 Februari 2021, Jenderal Daya Ratnayake, presiden Otoritas Pelabuhan Sri Lanka, mengatakan kepada Ceylon Today bahwa Presiden sedang meninjau perjanjian tersebut.
Baca Juga: Tak Berguna, Proyek Super Mahal Timor Leste Ini Justru Bikin Negara Masuk Jebakan Utang China
Menariknya baru-baru ini terkuak skandal besar memalukan keluarga Rajapaksa, presiden Sri Lanka, lewat investigasi Pandora Papers (Dokumen Pandora).
Mengutip icij.org, pada awal tahun 2018, pekerja di sebuah gudang di London dengan hati-hati memasukkan lukisan cat minyak dari Lakshmi, dewi kekayaan Hindu, ke dalam van yang akan meluncur ke Swiss.
Lukisan yang dilukis pada abad ke-19 oleh pelukis India Raja Ravi Varma, menggambarkan dewi bertangan empat dengan sari merah dan ornamen emas berdiri di atas bunga lotus.
Lukisan tersebut adalah salah satu dari 31 karya yang semuanya bernilai total hampir USD 1 juta, yang saat itu dikirimkan ke Geneva Freeport di Swiss.
Kompleks gudang yang canggih dan aman berukuran lebih besar dari 20 lapangan bola tersebut menyimpan berbagai harta karun yang bahkan disebut BBC "koleksi karya seni yang tidak bisa dilihat siapapun."
Pemilik dari "Dewi Lakshmi," dan berbagai karya seni yang dikirim bersama lukisan tersebut seperti dikutip dari slip pengepakan, adalah perusahaan cangkang di Samoa dengan nama yang tidak pernah didengar, Pacific Commodities Ltd.
Namun setelah terkuak dokumen yang bocor dari Asiaciti Trust, penyedia jasa finansial di Singapura, terkuaklah bahwa warga Sri Lanka yang berpengaruh di politik negara tersebut, Thirukumar Nadesan, secara rahasia mengendalikan perusahaan tersebut dan menjadi pemilik sah dari 31 karya seni rangkaian "Dewi Lakshmi" tersebut.
Mengejutkannya lagi, istrinya adalah Nirupama Rajapaksa, mantan anggota Parlemen Sri Lanka dan keturunan dari klan Rajapaksa yang kuat dan berpengaruh karena saat ini presiden Sri Lanka juga merupakan sosok dari klan Rajapaksa.
Klan ini telah mendominasi politik negara tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya.
Dokumen rahasia menunjukkan saat negara yang juga mengalami perang saudara berpuluh-puluh tahun lamanya, pasangan Nadesan-Rajapaksa justru menyiapkan simpanan di luar negeri dengan nama anonim serta menggunakan perusahaan cangkang guna mendapatkan karya seni langka, apartemen mewah dan juga untuk menyimpan uang.
Mereka berhasil menimbun kekayaan, mendapatkan keamanan dan aset lainnya, secara rahasia.
Keduanya bisa menyembunyikan kekayaan mereka dengan yurisdiksi rahasia dengan bantuan penyedia jasa finansial, para pengacara dan para pekerja kerah putih yang hanya bertanya sedikit tentang dari mana mereka mendapatkan kekayaan tersebut.
Nadesan sendiri juga telah lama dicurigai oleh otoritas Sri Lanka jika terlibat korupsi besar.
Tahun 2017, grup perusahaan luar negeri keduanya, yang belum dipublikasikan, telah memiliki nilai hampir USD 18 juta, menurut analisis ICIJ dari pernyataan finansial dana Nadesan.
Ironisnya, nilai tengah pendapatan tahunan di Sri Lanka kurang dari USD 4000 (Rp 60 juta) saja.
Data yang didapat ICIJ dari Asiaciti, penasihat lama untuk Nadesan menyebutkan total kekayaan Nadesan di tahun 2011 saja ada lebih dari USD 160 juta.
Para ekonom mengatakan di Sri Lanka kesenjangan antara si kaya dan si miskin terus meningkat, aturan pajak yang longgar telah menjadi cara para orang-orang kaya menghindari kewajiban membayar pajak, di saat penduduk yang lain berusaha memulihkan diri dari perang sipil.
Hal ini menyebabkan sangat sedikit dana negara yang digunakan untuk berinvestasi di sekolah, pelayanan kesehatan dan program sosial lainnya.
Hubungan Nirupama Rajapaksa dengan presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, adalah keponakan jauhnya, karena ayah Nirupama adalah sepupu Gotabaya.
Kemudian kakak laki-laki Gotabaya, Mahinda Rajapaksa, adalah perdana menteri Sri Lanka.
Kelompok HAM telah menuding Mahinda dan Gotabaya dalam kekerasan perang.
Para mantan pejabat pemerintah telah mencurigai keluarga tersebut memilliki kekayaan multi miliaran Dolar dan sebagian besarnya disembunyikan di rekening-rekening bank di Dubai, Seychelles dan St. Martin.
Suami Nirupama Rajapaksa sendiri menghadapi tuntutan jika ia secara rahasia membantu salah satu mertuanya, seorang menteri pemerintah, membangun villa megah dengan dana pemerintah.
Ironis, mengingat mereka mengaku tidak bisa membayar utang kepada China, tapi justru menimbun kekayaan sendiri tanpa memedulikan rakyatnya.