Advertorial
Intisari-Online.com -Kekejaman pembantaian para jenderal TNI menjadi salah satu bagian tidak terhindarkan dari G30S/PKI.
Para jenderal yang dibunuh kemudian jasadnya dibuang di Lubang Buaya itu kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Namun semua orang tahu, menjadikan mereka Pahlawan Revolusi tidak akan mengembalikan nyawa mereka lagi.
Padahal mereka juga memiliki keluarga dan orang-orang yang menyayangi mereka, yang kehilangan jika para jenderal tersebut tewas terbunuh.
Salah satunya adalah Achmad Yani, yang pembantaiannya menyisakan kesedihan mendalam bagi keluarganya.
Ialah Amelia Achmad Yani, putri Jenderal Achmad Yani.
Wanita ini berjuang mengobati luka batin karena memori pembunuhan ayahnya atas peristiwa G30S/PKI.
Tahun 2017, terungkap bahwa Amelia Yani pernah tinggal lebih dari 20 tahun di sebuah desa kecil guna menepi dari keramaian kota.
Ia berdamai dengan keadaan di desa tersebut.
Di desa itu ia malah bertemu dengan anggota keluarga keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut-sebut dalang peristiwa G30S/PKI.
Tahun 2017 itu tepatnya 10 Oktober 2017, Amelia Yani diwawancara oleh wartawan Kompas.com, Widianti Kamil, di Sarajevo, dalam tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina.
Ingatannya terhadap peristiwa G30S/PKI muncul sebagai peristiwa kelam memasuki bulan September.
"Seperti sebuah potret yang berjalan," kata Amelia.
Dituturkan olehnya bahwa ia selalu mengadakan tahlilan di mana ia sedang berada.
"Dan, saya sesuaikan, kalau di sini (di Wisma Indonesia), di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), saya sesuaikan tanggalnya dengan di Jakarta, jamnya juga bersamaan.
Kodam (di Jakarta) membuat tahlilan setelah magrib, di sini jam satu (13.00 waktu Sarajevo)," kata Amelia.
Ia menulis buku tentang ayahnya dan peristiwa G30S/PKI, Amelia menuturkan tujuannya adalah ingin generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, terutama peristiwa G30S.
"Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu.
"Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri.
"Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu.
"Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?
"Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban.
"Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis. Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro.
"Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh.
"Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?" ungkap Amelia.
Menurutnya, menulis adalah bagian dari rasa cinta tanah air.
"Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air. Begitu pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda.
"Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot. Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada," kata Amelia.
Tentu tidak mudah bagi Amelia menuliskan peristiwa mengenaskan tersebut, ia bercucuran air mata saat menulis buku tersebut.
Rasa trauma yang ia miliki berhasil membangun visualisasi seakan-akan ayahnya datang kembali dan merasa dekat dengannya.
"Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis."
"Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa,"
"Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ," ujarnya.
Amelia Yani ternyata hidup 20 tahun di sebuah dusun daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sejak 1988.
Di sana ia berhasil menyembuhkan rasa dendam, amarah dan benci yang ia rasakan.
"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik."
"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki.
"Itu hilang. Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia,"
"Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang.
"Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa,
"Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu.
"Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana," ungkap Amelia
Akhirnya Amelia dan anaknya pindah kembali ke Jakarta tahun 2019.
"Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta," kata Amelia.
Baca Juga: Mengenal Jenderal Ahmad Yani, Salah Satu Pahlawan Revolusi G30S PKI, Gugur Diberondong 7 Peluru
Amelia mengaku pernah ikut dalam kontes politik daerah Purworejo, Jawa Tengah.
Namun ia gagal, akhirnya ia kembali pada aktivitas menulisnya.
"Di situ mulai satu jalan yang lain lagi. Partai politik (parpol), semua mulai masuk. Mau jadi bupati (Purworejo, Jawa Tengah), ndak berhasil. Sudah menang, tapi dikalahkan dengan drastis,"
"Uang habis. Pokoknya, mengalami semuanya, yang membuat saya menjadi matang, mungkin. Lalu, menulis lagi, menulis lagi,"
Baca Juga: Kisah Evakuasi Para Pahlawan Revolusi G30S PKI dari Lubang Buaya, Sempat Mengalami Kendala
"Ketika saya sendirian, saya menulis lagi, saya menulis lagi."
Amelia Yani lahir di Magelang, Jawa Tengah, 22 Desember 1949, ia adalah PNS dan politisi Indonesia.
Jabatannya pernah sebagai Ketua Umum DPP Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) sejak November 2007.
Ia juga pengusaha yang aktif, tercatat sebagai pengurus di organisasi-organisasi usaha.
Kemudian tahun 1993-1998 Amelia Yani menjadi ketua KADINDA Sleman.
Karena keaktifannya di bidang bisnis, tanggal 3 Juni 1996 di Jakarta Amelia Ahmad Yani terpilih dalam "28 The Best Business Executives in Developing Indonesia 1996" dah juga sebagai Citra Kartini 1996 pada bulan April April 1996 di Jakarta.
Penghargaan yang di terima Amelia Ahmad Yani berlanjut di tahun 1997.
Nama Amelia Ahmad Yani tercatat sebagai salah satu dari "Five Hundred Leaders of Influence" American Biographical Institute USA, juga menerima The Platinum Record for Exceptional Performance by ABI, USA di tahun 1997 dan Member "International Who's Who of Profesionals 1997", USA.
Tahun 2000 Amelia Ahmad Yani kembali mengambil pendidikan di University of the America, Northbridge, California dan meraih gelar doctor dengan disertasi Rapid Economic Growth in The Rural Areas, Indonesian Experience in The Island of Java pada saat ia menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Agen Aspal Pertamina November 2000 - November 2003.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini