Penulis
Intisari-Online.com – Dalam peristiwa Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI, nama Letnan Kolonel (Letkol) Untung sering disebut-sebut.
Letkol Untung adalah penerima Bintang Sakti dalam Operasi Trikora di Irian.
Untung disebut-sebut sebagai salah satu pengkhianat dalam peristiwa G30S/PKI.
Tetapi tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa dirinya hanyalah boneka bagi oknum-oknum tertentu yang ingin menggulingkan pemerintahan Sukarno.
Letkol yang terkenal cerdas dan pendiam ini sebenarnya memiliki nasib baik dalam karier militernya.
Sayangnya, nasib baik itu menjadi sial pada peristiwa G30S/Pki dan akhirnya harus menerima nasib di depan regu tembak.
Masa lalu Untung
Menurut buku Untung, Cakrabirawa, dan G30S (2011) karya Petrik Matanasi, Untung memiliki nama asli Kusman.
Dia lahir pada 3 Juli 1926 di Desa Seruni, Kedungbajul, Kebumen.
Abdullah, sang Ayah, adalah seorang penjaga toko bahan batik di Pasar Kliwon, Solo, milik orang keturunan Arab.
Kusman sejak kecil sudah menjadi anak angkat pamannya, yaitu Sjamsuri.
Kusman tergolong anak pendiam.
Ketika beranjak dewasa, Kusman tidak mau menonjolkan diri dan selalu merasa rendah hati.
Beruntung, Kusman bisa merasakan sekolah dasar di Ketelan, meski tidak se-elit HIS atau ELS.
Setelah lulus sekolah dasar, Kusman melanjutkan sekolah dagang.
Namun, belum sempat lulus, tentara Jepang mendarat dan menguasai Indonesia.
Akibatnya, Kusman terpaksa putus sekolah.
Semasa remaja, Kusman senang bermain bola, bahkan menjadi anggota Kepare Voetball Club (Perkumpulan Sepak Bola Keparen) di Kampung Keparen, Jayengan, Solo.
Bergabung dengan Heiho
Sejak kedatangan Jepang dan menguasai Indonesia, maka berakhirlah masa kolonialisasi Hindia Belanda.
Pemerintahan Jepang memfokuskan diri untuk mempertahankan Indonesia dari serbuan Sekutu dan membentuk kekuatan militer.
Kusman pun akhirnya mendaftar untuk menjadi anggota Heiho.
Saat itu kebanyakan teman sebaya Kusman umumnya menjadi anggota PETA.
Dia sengaja masuk ke Heiho agar bisa dikirim ke front, maka dia mendapatkan pelatihan dan pengenalan dunia militer serta bahasa Jepang.
Kemudian, mereka disebar ke berbagai instalasi perang milik tentara Jepang.
Kusman, tidak banyak yang tahu dia ditugaskan di mana setelah itu, kemungkinan besar masih ditempatkan di Pulau Jawa.
Karena, setelah Jepang kalah, Kusman masih berada di Jawa tengah.
Heiho menjadi awal karir Kusman sebagai militer profesional yang dibayar.
Ketika Heiho dibubarkan, Kusman menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal bakal TNI.
Berganti nama "Untung"
Melansir dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010) karya Julius Pour, semasa perang kemerdekaan Kusman bertugas di daerah Wonogiri sebagai anggota batalyon Soedigdo.
Batalyon ini merupakan bagian dari Divisi Panembahan Senopati yang berbasis di Jawa Tengah bagian selatan, namun banyak dipengaruhi paham-paham komunisme/marxisme.
Batalyon ini pula yang diyakini terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948.
Ketika Batalyon Sudigdo ini dibersihkan oleh pasukan Siliwangi, Kusman yang pangkatnya sudah Sersan Mayor meloloskan diri ke Madiun dan menjadi bagian kecil dari pemberontakan Madiun Affair 1948.
Kusman kembali ke Jawa Tengah setelah peristiwa Madiun dan Agresi Militer Belanda II, dia pun mengganti namanya menjadi Untung.
Dia bergabung kembali dengan TNI dan pernah menjabat Komandan Batalyon Banteng Raider.
Pada tahun 1949, dia bergabung di Batalyon 444 di Kleco, Solo sebagai Komandan Kompi.
Pada 10 Oktober 1950, berubah menjadi Brigade Panembahan Senopati, yang wilayahnya meliputi Surakarta dan berkedudukan di Surakarta.
Pada Januari 1952, Brigade Panembahan Senopati berubah nama menjadi Resimen Infanteri 15.
Karier militer
Untung sempat ikut dalam Operasi 17 Agustus pada 1958 yang dipimpin Ahmad Yani.
Saat itu Untung masih menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Letnan Satu.
Pada 1959, Untung kembali ke Jawa Tengah.
Untung menjadi Komandan Batalyon 454/para Banteng Raiders Diponegoro, Srondol, selatan Semarang, setelah operasi itu selesai, dia ketika itu pangkatnya Mayor.
Sekitar 14 Agustus 1962, Untung diterjungkan ke daerah Sorong, Papua Barat, menjadi bagian dari Operasi Mandala yang dipimpin Soeharto.
Setelah operasi militer sukses, Untung mendapat kenaikan pangkat istimewa dari mayor ke Letnan Kolonel serta mendapatkan bintang jasa setelah memimpin pasukan gerilya menyerang tentara Belanda di Papua Barat.
Dia juga dipercaya untuk menjabat Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.
Untung kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua Dewan Revolusi sekaligus memimpin Gerakan 30 September, hanya untuk melindungi bapak nasionalis Indonesia, Sukarno yang sekaligus menjadi atasan Untung.
Ketika menjadi Kedua Dewan Revolusi itu, dia dikenal dengan nama baru yaitu Untung Syamsuri.
Namun, tidak banyak yang ingat bahwa nama tersebut dulunya adalah Kusman.
Akhir dari riwayat hidupnya, Untung dijatuhi hukuman mati di Cimahi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Grasinya ditolak dan dia harus berhadapan di depan para regu tembak.
Untung meninggal pada tahun 1966. (Serafica Gischa)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari