Advertorial
Intisari-Online.com - Sejumlah perwira TNI menjadi korban tragedi 30 September 1965, yang kini mereka dikenal sebagai Pahlawan Revolusi G30S PKI.
Mereka dituduh akan melakukan makar terhadap Presiden Pertama RI Soekarno melalui Dewan Jenderal dan menjadi target penculikan.
Pada hari berdarah itu, mereka justru dibunuh secara keji, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah sumur di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Namun, di antara mereka, ada seorang prajurit yang seharusnya tak masuk dalam daftar sasaran.
Baca Juga: Latar Belakang Pemberontakan PKI Madiun hingga Akhir Tragis Peristiwa Sejarah Ini
Dialah Lettu Pierre Andreas Tendean, seorang ajudan dari jenderal Abduk Haris (AH) Nasution.
Piere Tendean ditangkap oleh pasukan Cakrabirawa karena dikira sebagai AH Nasution.
Ketika menghadapi pasukan yang menggeruduk kediaman Sang Jenderal, ia mengaku sebagai AH Nasution.
Pasukan Cakrabirawa akhirnya membawa Pierre Tendean ke Lubang Buaya, sementara AH Nasution berhasil selamat.
Di malam 30 September itu, Pierre Tendean yang sedang tidur di ruang belakang rumah dinas terbangun karena mendengar suara tembakan dan keributan.
Dikutip Historia, Pierre keluar dari paviliunnya untuk mengatasi kegaduhan dari pasukan-pasukan yang menyatroni kediaman Nasution.
Terjadilah pembunuhan keji itu karena ia dianggap sebagai AH Nasution yang menjadi target.
Siapa Pierre Tendean?
Dalam buku Jejak Sang Ajudan: Sebuah Biografi Pierre Tendean (2018) karya Ahmad Nowmenta Putra, Agus Lisna, Pierre Andreas Tendean lahir di Rumah Sakit Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ) Batavia (sekarang Jakarta) pada 21 Februari 1939.
Pierre Tendean merupakan keturunan Minahasa dan Perancis.
Ibunya Maria Elizabeth Cornet yang merupakan keturunan Perancis-Belanda Sementara ayahnya Aurelius Lammert (A.L) Tendean berdarah Minahasa Sulawesi Utara yang merupakan seorang dokter di rumah sakit Pierre Tendean lahir.
Ia memperoleh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) Boton Magelang pada 1945, kemudian melanjutkan pendidikan di tingkat SMP Negeri 1 Semarang pada 1952.
Karir militernya cukup bangus, ia lulus dar Akademi Milier pada 1961 dengan pangkat Letnan Dua.
Selanjutnya menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan Ia juga mengikuti pendidikan di sekolah intelejen di Bogor satu tahun kemudian.
Lulus dari sekolah intelejen, ia bertugas Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.
Pierre Tendean bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia.
Tanggal 15 April 1965, merupakan hari ia dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.
Pierre Tendean menggantikan Kapten Kav Adolf Gustaf Manullang ajudan AH Nasution sebelumnya yang gugur dalam misi perdamaian di Kongo Afrika 1963.
Rupanya, dalam mengawal AH Nasution sehari-hari, Pierre Tendean sering menjadi pusat perhatian karena ketampanannya.
Seperti yang diungkapkan AH Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
“Yang mendampingi saya adalah adalah ajudan yang paling muda, Letnan Satu Pierre Tendean.
"Ia terhitung pemuda yang ganteng, dan terus ia saja menjadi sasaran kerumunan para mahasiswa,” kenangnya.
Pierre Tendean bersama korban tragedi G30S PKI lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, bertepatan dengan HUT ke-20 ABRI.
Untuk menghargai jasa-jasanya, Pierre Tendean pun dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965.
(*)