Intisari-online.com - Pandemi Covid-19 telah berdampak menurunnya sektor ekonomi di suatu negara.
Terutama Asia Tenggara yang saat ini masih berjibaku dengan pandemi masih belum bisa keluar dari memburuknya pandemi.
Ini membuat pertumbuhan ekonomi pun kian macet, dan mau tak mau harus mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Bahkan situasi ini semakin dipersulit dengan munculnya varian baru Covid-19 yang menyebabkan situasi di Asia Tenggara kembali memburuk.
Sementara itu, sebuah perusahaan asal Inggris juga melaporkan kondisi ekonomi Asia Tenggara yang akan memburuk.
Dalam laporan sebuah perusahaan multinasional Deloitte (Inggris) ekonomi Asia Tenggara akan kehilangan 28 triliun dollar AS (Rp398.305 triliun) selama 50 tahun ke depan.
Sementara itu pertumbuhan PDB melambat, rata-rata 7,5% per tahun, jika tidak segera dibenahi.
Namun laporan itu dibuat bukan berdasarkan dampak pandemi tetapi ada faktor lain yang memicu badai ekonomi ini.
CNBC pada 2 September mengutip laporan Deloitte bahwa industri jasa Asia Tenggara kemungkinan akan kehilangan 19 triliun dollar pada tahun 2070.
Angka ini adalah 7 triliun dollar AS di bidang manufaktur dan 7 triliun dollar AS di ritel dan pariwisata, kalender adalah 5 triliun dollar AS.
Deloitte menyarankan Asia Tenggara untuk melihat pemanasan global sebagai "investasi" dan jika emisi karbonnya dikurangi dengan cepat.
Kawasan ini dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 12,5 triliun dollar AS dan meningkatkan rata-rata pertumbuhan PDB 3,5%/tahun untuk 50 tahun ke depan.
Menurut sebuah laporan oleh Deloitte, Asia Tenggara memiliki sekitar 500 juta orang dan total PDB sebesar 3 triliun dollar AS.
Wilayah ini telah mencatat peningkatan PDB per kapita rata-rata 5%-12% per tahun sejak awal abad ke-21.