Intisari-Online.com - Di bawah bayang-bayang gereja Katolik bercat putih di Ainaro, Timor-Leste, Kalistru berjalan menuruni tangga menuju jalan berdebu.
Dia hanya seorang anak laki-laki, berusia delapan tahun.
Dia tak menyangka tidak akan bisa melihat ibu atau ayahnya lagi setelah hari itu.
Saat itu tahun 1977 dan Timor-Leste sedang berperang.
Dua tahun sebelumnya pasukan Indonesia telah menyerbu dan menduduki bekas wilayah kecil Portugis.
Melansir Abc.net.au, terlalu muda untuk bergabung dengan pasukan perlawanan seperti beberapa saudaranya, Kalistru berada di sisi ibunya selama kekacauan hari itu.
Kalistru dan teman-temannya hampir tidak memperhatikan sekelompok tentara Indonesia yang menunggu di dekatnya ketika mereka meninggalkan gereja lebih awal hari itu.
Mereka terlalu sibuk bermain dengan beberapa koin saat mereka berjalan di jalan.
Salah satu tentara mendekati mereka dan bertanya apakah dia bisa bergabung.
“Apakah Anda tahu ibu kota Indonesia, Jakarta?” dia bertanya pada anak laki-laki.
"Tidak," kata mereka. "Maukah kamu pergi ke sana?"
Terlalu muda untuk melihat tentara Indonesia sebagai musuh dan bersemangat dengan janji petualangan besar, anak laki-laki lalu sudah berada di sebuah Jeep tentara menuju Dili.
Sejak hari itu, selama 2 tahun lamanya, mereka 'hilang.'
Lebih dari 4.000 anak diambil dari Timor-Leste selama pendudukan Indonesia antara tahun 1975 dan 1999.
Beberapa organisasi non-pemerintah percaya bahwa jumlah sebenarnya bahkan lebih tinggi.
Sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk setelah kemerdekaan Timor-Leste pada tahun 2002 menyimpulkan sekitar dua pertiga dari anak-anak tersebut dipindahkan oleh tentara Indonesia tanpa persetujuan orang tua mereka.
Beberapa dikirim untuk melakukan pekerjaan kasar di militer Indonesia atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Banyak orang, seperti Kalistru, diambil dengan diiming-imingi kehidupan yang lebih baik di luar Timor-Leste.
Dibesarkan sebagai orang Indonesia, atau ditinggalkan jauh dari rumah, mereka adalah “generasi curian” Timor-Leste.
Salah satu tentara Indonesia di Ainaro hari itu adalah Sumia Atmaja.
Dia menyelundupkan Kalistru dan anak-anak lelaki lainnya ke sebuah kapal angkatan laut di Dili, menuju Jakarta.
Dari sana ia membawa pulang anak laki-laki itu ke keluarganya di Jawa Barat dan secara efektif mengadopsinya sebagai putra keduanya.
Kalistru terpaksa mengganti namanya menjadi Alis Sumiaputra, yang berarti “anak Sumia”.
Ia dibesarkan dalam sistem sekolah Indonesia dan masuk Islam, meninggalkan iman Katolik orang tuanya di Timor-Leste.
Lambat laun ia melupakan bahasa Tetum asalnya. Pada waktunya dia lupa banyak tentang kehidupan awalnya di pedesaan Ainaro, bahkan tentang keluarganya sendiri.
Kehidupan Alis di Indonesia memang tidak bahagia.
Prajurit yang membawanya baik, katanya, dan membesarkannya seolah-olah Alis adalah darah dan dagingnya sendiri.
“Dia berkata, 'Kamu bukan orang asing, kamu anakku.' Setelah bertemu ibu angkat saya dengan keempat anaknya, kami seperti saudara kandung. Kami memiliki hubungan yang sangat baik.”
Namun pada tahun 2019, 42 tahun setelah dia diculik, ingatan kembali muncul dengan kematian ayah angkat Alis yang berkewarganegaraan Indonesia dan kunjungan orang asing.
“Hati saya merindukan orang tua saya sejak ayah angkat saya meninggal,” kata Alis.
(*)