Tragedi Santa Cruz 1991 Jadi Titik Balik Perjuangan Kemerdekaan Timor Leste, Ini Latar Belakang dan Dampaknya

Khaerunisa

Editor

Patung Pemuda Timor Leste, (Ilustrasi) latar belakang dan dampak tragedi Santa Cruz di Timor Leste.
Patung Pemuda Timor Leste, (Ilustrasi) latar belakang dan dampak tragedi Santa Cruz di Timor Leste.

Intisari-Online.com - Timor Leste pernah menjadi bagian wilayah Indonesia antara tahun 1975 hingga 1999.

Tetapi selama masa-masa tersebut, terus terjadi perlawanan kelompok pro kemerdekaan Timor Leste.

Upaya mereka membuahkan hasil dengan diselenggarakannya referendum Timor Timur pada 30 Agustus 1999.

Timor Leste akhirnya lepas dari Indonesia dengan hasil pemungutan suara tersebut menunjukkan mayoritas pemilih menginginkan kemerdekaan.

Baca Juga: Dilarang Selama Pendudukan Indonesia, Timor Leste Menghidupkan Kembali Praktik Leluhur yang Satu Ini, Libatkan Pengorbanan Demi Lingkungan

Setelah lepas dari Indonesia, Timor Leste menjadi negara baru yang diakui secara resmi pada 20 Mei 2002.

Kini, Timor Leste menjadi negara termuda Asia Tenggara, juga menjadi salah satu negara termuda di dunia.

Kemerdekaan Timor Leste sering dikaitkan dengan tragedi berdarah yang terjadi di wilayah ini pada tahun 1991, beberapa tahun sebelum referendum.

Tragedi Santa Cruz, disebut menjadi titik balik perjuangan kemerdekaan Timor Leste.

Baca Juga: China Tambah Murka, AS Lakukan Hal Ini di Selat Taiwan Tak Lama Setelah Perjanjian Kapal Selam Nuklir AUKUS Diumumkan

Tragedi Santa Cruz di Timor Leste merupakan peristiwa yang terjadi pada 12 November 1991 di sekitar Pemakaman Santa Cruz Dili.

Itu terjadi ketika rakyat Timor Leste melakukan unjuk rasa dengan berjalan ke pemakaman tersebut, tempat peristirahatan terakhir seorang pemuda Timor Leste yang meninggal dua minggu sebelumnya.

Tetapi, suasana pemakaman itu berubah mencekam dan menjadi pertumpahan darah. Aksi demo yang dilakukan rakyat Timor berujung rusuh ketika tiba-tiba datang rentetan tembakan.

Saat itu, tentara Indonesia berjaga di sudut-sudut jalan dengan senjata siaga.

Baca Juga: Awas Jika Sembarangan Makan Bisa Fatal, Ini Diet yang Harus Anda Jaga di Usia 30-an Agar Tetap Bugar 20 Tahun Berikutnya

Harian Kompas, 28 November 1991 memberitakan, seusai misa untuk memperingati kematian Gomes di Gereja Motael yang dihadiri sekitar 1.500 orang, sebagian jemaat meloncat pagar, menggelar spanduk anti-integrasi serta meneriakkan yel-yel yang menghina ABRI dan pemerintah.

Sementara itu, di pemakaman Santa Cruz, sekitar 2 ribu massa telah berkumpul.

Disebut, untuk mencegah bergabungnya massa yang datang dari Gereja Motael dan massa di kuburan St Cruz, dikerahkan dua peleton dari Yonif 303 dan satu peleton dari Yonif 744, serta satu peleton Brimob anti huru-hara.

Benar saja, terjadi proses penggabungan massa. Sebagian dari massa yang ada di kuburan bergerak ke luar, bergabung dengan massa yang berada di luar serta melakukan gerakan agresif dan menyerang aparat.

Baca Juga: China Makin Ugal-ugalan, Setelah Bikin Takut Nelayan Indonesia untuk Melaut, Kini Hacker China Dikabarkan Bobol Data 10 Kementerian dan Lembaga Negara Termasuk BIN

Dilaporkan bahwa pada saat itu terdengar letusan tembakan dari arah kuburan dan suara teriakan "serbu, rebut senjata."

Satuan pengamanan melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi massa tidak memperdulikan tembakan peringatan tersebut, malahan menjadi lebih beringas.

Massa terus mendesak dengan senjata tajam di tangannya, dan melemparkan sebuah granat ke arah satuan pengamanan.

Peristiwa tersebut memakan banyak korban, berbeda-beda menurut berbagai versi. Puluhan orang tewas menurut Dewan Keamanan Militer Indonesia, sedangkan menurut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste sedikitnya 271 orang.

Baca Juga: Pernah Jadi Partai Komunis Terbesar Ketiga di Dunia, Beginilah Ketika PKI Membuat Indonesia Menjunjung Komunisme dan Hampir Menjadi Negara Komunis

Latar Belakang Terjadinya Tragedi Santa Cruz

Serangkaian peristiwa melatarbelakangi terjadinya tragedi Santa Cruz pada 12 November 1991 itu.

Dibatalkannya kunjungan delegasi dari anggota parlemen Portugal dan 12 wartawan internasional oleh pemerintah Indonesia menjadi awal mulanya.

Pada bulan Oktober 1991, rombongan tersebut dijadwalkan akan mengunjungi Timor Timur.

Para mahasiswa pun telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini.

Baca Juga: Coba Teknik Ini Sebelum Tidur, Letakkan Minyak Kelapa pada Pusar Selama 15 Menit, Hasilnya Sungguh Tak Terduga!

Namun, rencana kunjungan tersebut dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas ikutnya para jurnalis sebagai bagian delegasi itu.

Seperti diketahui, pers Indonesia di era orde baru sendiri sangat dibatasi.

Pembatalan itu pun menyebabkan kekecewaan mahasiswa pro-kemerdekaan yang berusaha mengangkat isu-isu perjuangan di Timor Timur.

Kekecewaan tersebut menyebabkan situasi memanas antara pihak pemerintah Indonesia dan para mahasiswa.

Baca Juga: Ngamuk dan Kecewa Berat, Perancis Tiba-tiba Tarik Duta Besarnya dari AS dan Australia Walaupun Baru Pertama Kalinya, Siapa Sangka Persekutuan Baru Justru Timbulkan Musuh Baru

Puncaknya pada tanggal 28 Oktober, pecah konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di gereja Motael Dili.

Peristiwa tersebut menyebabkan Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi tewas dalam perkelahian dan seorang aktivis pro-kemerdekaan, Sebastião Gomes yang ditembak mati oleh tentara Indonesia.

Kematian pemuda Timor Leste itulah yang memantik rakyat Timor Leste untuk turun ke jalan, melakukan unjuk rasa di sekitar Pemakaman Santa Cruz.

Tetapi, unjuk rasa tersebut justru berujung pada peristiwa berdarah lainnya yang dikenal sebagai Tragedi Santa Cruz.

Baca Juga: Cek Weton Minggu Pon: Beginilah Watak, Rezeki serta Jodoh yang Cocok untuk Orang Minggu Pon

Baca Juga: Pantesan Bikin Negara Barat Ketakutan, Sampai Berniat Menusnahkannya, Inilah Alasan Mengapa Kelompok Islam Radikal Tumbuh Subur di Timur Tengah

Dampak Peristiwa Santa Cruz

Saat itu, tragedi Santa Cruz banyak mendapat sorotan dari media asing.

Peristiwa tersebut disaksikan dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn.

Juga Max Stahl, Wartawan asal Inggris, yang berhasil merekam peristiwa berdarah itu dan menjadi satu-satunya bukti video yang ada.

Rekaman itu membawa berkontribusi besar, membuat 'mata dunia' tertuju pada apa yang terjadi di wilayah ini.

Baca Juga: Berusia Antara 7.000 dan 8.000 Tahun Lalu, Relief Unta di Arab Saudi Ini Lebih Tua dari Stonehenge dan Piramida Giza.

Rekaman yang ditayangkan di seluruh dunia itu tentunya membuat pemerintah Indonesia dipermalukan.

Pemerintah Indonesia mulai terus-terusan menjadi bulan-bulanan internasional.

Timor Leste pun mendapatkan dukungan internasional yang luas untuk perjuangan kemerdekaannya, sampai pada penentuan nasib sendiri dengan dilaksanakan referendum.

Sementara itu, PPB mengecam Indonesia dan membentuk badan penyelidik independent untuk mengusut insiden tersebut.

Baca Juga: Dijamin Enggak Akan Balik Lagi, Ini 7 Cara Ampuh Mengusir Cicak di Rumah, Yuk Coba Sekarang Juga!

Presiden Soeharto sendiri membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) di bawah pimpinan Hakim Agung M Djaelani.

KPN pun mulai bekerja dengan menelusuri rute pengunjuk rasa dan mewawancarai beberapa orang.

Usai peristiwa tersebut, Timor Leste terus bergerak cepat menuju kemerdekaannya.

Referendum Timor Leste disetujui ketika Presiden B.J. Habibie menjabat menggantikan Soeharto.

Baca Juga: Tak ada Jejak-jejak Komunis Terlihat Secuilpun, Benarkah Timor Leste Sebenarnya Menggunakan Ideologi Komunis Sampai Memancing Presiden Soeharto untuk Menginvasinya?

(*)

Artikel Terkait