Penulis
Intisari-Online.com - Eve Webster menyelidiki masalah kompleks yang dihadapi populasi imigran Timor Leste di Oxford, Inggris.
Dulu saat Eve menginjak tahun kedua perkuliahannya, dia memutuskan untuk mencari uang tambahan dengan bekerja di restoran pizza.
Namun setelah menjelajahi beberapa restoran, di sana selalu ada orang Timor Leste yang bekerja sebagai pencuci piring.
Melansir Cherwell.org, tidak ada yang tahu pasti berapa banyak orang Timor Leste di Inggris.
Tetapi perkiraan berkisar antara lima hingga dua puluh ribu dan kebanyakan dari mereka tinggal di Oxford.
Lima belas ribu orang adalah margin kesalahan yang cukup besar, dan Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana statistik ini bisa begitu tidak tepat.
Pertama, sangat sedikit bahasa Inggris yang digunakan dalam komunitas orang-orang Timor Leste.
Hal itu berarti banyak dari mereka yang tidak terdaftar jaminan kesehatan dan jarang mengisi formulir biasa yang menanyakan tempat lahir dan kebangsaan.
Imigran-imigran dari negara berkembang ini menghadapi banyak masalah.
Mereka tidak punya pekerjaan tetap dan tidak dilindungi oleh kontrak.
Selain itu, mereka juga seringkali dibayar di bawah upah minimum.
Bocagio do Santos, seorang penerjemah dan juru bahasa Timor Leste, mengatakan bahwa mereka biasanya bekerja dalam jangka waktu yang lama.
Mereka bekerja enam hari seminggu dan sangat sedikit bersosialisasi di luar komunitas Timor Leste.
Singkatnya, lima hingga dua puluh ribu orang ini tidak terdaftar resmi.
Ketika orang Timor pertama mulai tiba di Inggris pada awal 1990-an, mereka pada dasarnya adalah pencari suaka.
Namun status mereka di atas kertas tidak berbeda dengan orang Prancis, Jerman, Swedia atau Yunani yang pindah ke Inggris.
Baca Juga: Fakta Bendera Timor Leste, Desain Bendera yang saat Ini Digunakan Ternyata Bukan yang Pertama
Sehingga selama tiga puluh tahun terakhir mereka telah menerima jauh lebih sedikit dukungan daripada orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan dari negara lain.
Mereka dianggap memiliki pendidikan, budaya, sejarah terkini, dan situasi keuangan yang sebanding dengan orang Inggris—seperti halnya sifat UE.
Padahal jelas tidak demikian.
(*)