Intisari-Online.com -Selama ini, Australia terkenal sebagai salah satu negara yang menjadi tujuan dari para pencari suaka.
Para pengungsi tersebut sebagian besar berasal dari wilayah-wilayah konflik seperti Timur Tengah.
Mereka tidak sekadar ingin bisa hidup di negara yang lebih baik, tapi juga menyelamatkan nyawa.
Ada yang memilih transportasi darat, ada pula yang nekat menggunakan perahu, bahkan meski berukuran kecil dan diisi banyak orang.
Masih segar dalam ingatan, pada 2015, Australia bak tak punya hati kala mengirimbalik sebuah perahu yang diisi para pengungsi asal Vietnam.
Para pengungsi yang berhasil menembus keamanan laut Australia pun belum tentu nasibnya akan langsung berubah.
Pemerintah Australia membiarkan ribuan para pengungsi hidup tanpa kepastian di sebuah rumah detensi yang tak ubahnya sebuah rumah tahanan.
Tidak jarang, meski sudah berbulan-bulan hingga bertahun-tahun berada di rumah detensi, mereka tetap saja tak memiliki status yang jelas.
Belakangan, sikap dingin dan sok tegasnya kepada para pengungsi tersebut berbuah menjadi petaka bagi Australia.
Seiring dengan pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, Australia kini mengalami krisis sumber daya manusia.
Sektor-sektor penting dalam ekonomi mereka kini terancam terbengkalai karena kekurangan orang untuk mengurusnya.
Di sektor pertanian, misalnya, MenteriPertanian Australia David Littleproud mengakui kekurangan 30.000 pekerja.
Padahal, mereka kini tengah bersiap menghadapi musim panen yang justru memerlukan lebih banyak tenaga kerja.
Sementara itu di sektor peternakan, Littleproud menyebut negaranya kini tidak bisa beroperasi 100 persen.
Industri-industri pengolahan daging, melansirTatoli.com, kini hanya mampu menjalankan 60 hingga 70 persen dari total kapasitasnya.
Mereka seperti benar-benar tidak memiliki lagi orang yang bisa membuat berbagai sektor industri terus berjalan.
Hanya saja, kondisi ini pada faktanya, tidak pernah bisa membuat Australia berpikir untuk lebih membuka diri kepada para pengungsi.
Mereka justru lebih memilih sistem pengelolaan sumber daya manusia layaknya sebuah perusahaan swasta.
Australia lebih memilih sebuah sistem yang umum dikenal sebagai proyek pekerja musiman.
Melalui sistem ini, para pekerja hanya akan tiba di Australia jika memang sektor-sektor industri tertentu sedang memerlukannya.
Misalnya saja para pekerja yang tiba saat sektor pertanian akan menghadapi musim panen.
Namun, jika musim panen tersebut telah usai, maka para pekerja tersebut tidak memiliki pilihan lain selain kembali ke negara asal mereka.
Memang mereka diberi gaji yang cukup tinggi, yaitu mencapai Rp2 juta 'hanya' untuk bekerja selama 8 jam.
Hanya saja, seperti halnya sistemoutsourcing yang umum diterapkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, mereka tidak memiliki perlindungan apa pun.
Australia sendiri membatasi negara-negara yang diperbolehkan mengirimkan warga negaranya untuk menjadi pekerja musiman.
Hanya negara-negara yang berada di kawasan Pasifik dan Timor Leste yang diberi keistimewaan tersebut.
Lalu, kini, usai merasa sistem 'outsourcing' tersebut berhasil, Australia memilih untuk semakin memaksimalkannya.
“Pemerintah memperkirakan jumlah pekerja Pasifik dan Timor Leste di Australia akan berlipat ganda menjadi lebih dari 24.000 di bawah skema tersebut," tuturLittleproud.