Penulis
Intisari-online.com -Diplomasi vaksin sudah dimulai sejak Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet mengembangkan vaksin virus polio untuk menyembuhkan jutaan warga Uni Soviet.
Kini, vaksin menjadi alat memperkuat pengaruh geopolitik.
Meski begitu, masih tidak jelas apakah diplomasi vaksin Covid-19 bisa mendapatkan akhir yang bahagia.
Saat ini negara miskin hanya menerima 20% dari 4 miliar dosis vaksin yang telah ada di dunia.
Padahal negara-negara miskin menjadi rumah bagi lebih dari separuh populasi dunia.
Permintaan sangat banyak sampai Agustus kemarin WHO meminta moratorium penundaan pemberian suntikan booster di negara kaya sampai setidaknya September ini.
WHO menegaskan perlu memberikan suplai vaksin ke setidaknya 10% populasi dari masing-masing negara.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, "kami tidak bisa membiarkan negara-negara yang sudah menggunakan sebagain besar suplai vaksin global menggunakannya lebih banyak lagi sementara orang-orang paling rentan di dunia tetap tidak terlindungi," seperti dikutip dari The Interpreter.
China dan Rusia sudah memanfaatkan diplomasi vaksin sebagai alat untuk memperluas pengaruh mereka.
Mereka membuat vaksin sendiri untuk dijual ke negara lain, dengan motif mereka mengurangi dampak epidemi di negara sendiri dan temukan kesempatan dan pengaruh baru.
Upaya ini telah mendapatkan keberhasilan jangka pendek, dengan Sinovac dan Sinopharm dari China menjadi vaksin yang paling banyak dipakai di dunia.
Selanjutnya saat ini hampir semua negara di Asia Tenggara kesulitan menangani ledakan infeksi akibat varian Delta.
Pertengahan Agustus lalu, tingkat kasus di Indonesia, Thailand, Filipina dan Vietnam tumbuh secara eksponensial.
Hal ini berdampak pada ekonomi regional dan tekanan berat pada sistem kesehatan nasional.
Vaksinasi juga lambat di Asia Tenggara karena stok vaksin yang sedikit.
Pakar kini menyoroti Australia, negara tetangga bagi Asia Tenggara, yang belum maksimal membantu negara-negara Asia Tenggara.
Banyak pakar berpendapat posisi geografis Australia di wilayah Indo-Pasifik ditambah dengan pencarian vaksin menyebabkan Australia bisa berbuat lebih untuk mendukung negara lain.
Total pesanan 169 juta dosis cukup untuk memvaksin semua orang di Australia di atas usia 14 tahun 8 kali.
Australia kini tercatat memiliki kelebihan stok vaksin, dan menjadi penyimpan vaksin-vaksin dunia, termasuk Pfizer.
Pertengahan Agustus lalu Australia sudah mendapat 200 ribu dosis vaksin Pfizer tambahan dengan cara membayar lebih kepada penjualnya.
Cara yang sama juga dipakai untuk mendapatkan 1 juta dosis vaksin Pfizer dari Polandia, yang menyebabkan peningkatan harga vaksin sehingga makin tidak bisa tersedia bagi negara miskin.
Australia sendiri juga memiliki fasilitas pabrik AstraZeneca, sehingga banyak pakar mencerca mereka karena tidak membantu negara terdekat seperti Indonesia dan Papua Nugini.
Timor Leste saja yang bagaikan anak emas Australia pada Juli lalu baru mendapatkan 277.850 vaksin dari Australia.
Bukan berarti Australia tidak berniat membantu, sebagai anggota G20, Australia punya peran penting dalam distribusi vaksin.
Kontribusi pertama dalam kesetaraan vaksin adalah bantuan AUD 80 juta ke COVAX, program bantuan vaksin untuk seluruh dunia yang bertujuan memberikan vaksin ke semua negara minimal 20% dari populasi mereka tak memandang pendapatan negara tersebut.
Australia juga sudah menawarkan bantuan AUD 623 juta selama 3 tahun melalui dua inisiatif lain, AUD 523.2 juta untuk dosis dan bantuan teknis melalui Akses Vaksin dan Inisiatif Keamanan Kesehatan untuk negara-negara tetangga dan bantuan AUD 100 juta melalui kelompok Quad dengan AS, India dan Jepang.
Pada pertemuan G7 di Juni, Australia juga berkomitmen membagi 20 juta dosis lebih banyak dengan Pasifik dan Asia Tenggara pada pertengahan 2022.
Namun sayangnya bantuan itu belum disebarkan.
Ada lagi kekhawatiran risiko kadaluarsa vaksin, seperti yang dialami Papua Nugini.
Papua Nugini harus menghancurkan ribuan vaksin AstraZeneca yang diterima dari Australia karena sudah kadaluwarsa.
Saat ini negara tetangga Indonesia itu mencatat baru 100 ribu warga sudah menerima vaksin, 0.6% dari populasi mereka.