Intisari-Online.com -Terduga pelaku pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sampai sekarang masih terhitung adem ayem.
Bahkan ia dikabarkan belum mendapatkan surat penonaktifan sebagai karyawan.
Hal ini sudah disampaikan oleh kuasa hukum dari terduga pelaku RT dan EO, Tegar Putuhena.
"Sampai saat ini belum ada surat penonaktifan apa pun dari KPI. Jadi dinonaktifkan hanya berdasarkan lisan," kata Tegar dalam diskusi virtual yang digelar Jurnalis Jakpus, Jumat (10/9/2021).
Tegar bahkan mempertanyakan mengapa KPI belum juga menerbitkan surat penonaktifan pada kliennya.
Padahal Komisioner KPI sudah umumkan status bebas tugas sejak Kamis pekan lalu.
Selanjutnya Tegar menilai KPI terkesan tidak serius menyikapi kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual ini.
Ia menegaskan, kasus ini tidak hanya merugikan korban tapi juga kliennya yang masih terduga pelaku.
Ketidakseriusan KPI disebut Tegar bisa dilihat dari komisionernya yang justru berada di luar kota.
"Sejak Minggu lalu pimpinan KPI itu tidak ada di Jakarta. Tanggal 1 kasus dugaan pelecehan viral, tanggal 2 mereka rapat pleno, klien saya dinonaktifkan. Lalu sejak saat itu yang ada di Jakarta hanya Ketua KPI saja," kata Tegar dikutip dari Kompas.com.
Kasus pelecehan seksual ini dialami oleh MS, yang mencuat setelah ia menulis surat terbuka yang kemudian viral di media sosial Rabu pekan lalu.
Isi surat terbuka itu antara lain MS mengaku sudah menjadi korban perundungan sejak ia bekerja di KPI tahun 2012.
Baca Juga: Daniel Zhang, CEO Alibaba yang Baru: 'Karyawan Jangan Kerja untuk KPI'
Ia juga sempat mengalami pelecehan seksual oleh lima orang rekan kerjanya pada tahun 2015 di kantor KPI.
MS mengaku sudah melaporkan ke atasannya dan polisi tahun 2019, tapi mereka tidak menanggapi laporannya.
Akhirnya setelah berita ini viral barulah KPI bergerak melakukan penyelidikan internal.
Ada 8 terduga pelaku pelecehan seksual dan perundungan yang dinonaktifkan guna memudahkan proses investigasi.
Polres Jakpus juga sudah memeriksa lima terduga pelaku yang melecehkan MS tahun 2015.
Sementara itu pernyataan kuasa hukum Anton Febrianto untuk terduga pelaku lainnya yaitu RM dinilai keterlaluan oleh kuasa hukum korban, Muhammad Mualimin.
Senin (6/9/2021) lalu dikutip dari wartakotalive.com, Anton menyebut surat terbuka MS itu hanyalah tindakan senda-gurau belaka.
"Teman-teman merasa tidak pernah melakukan, kalaupun ada masalah yang di surat terbuka itu tentang perbudakan, paling ceng-cengan lah bahasa kita, itu hal yang biasa," kata Anton.
Mualimin mengatakan sifat RM itu keterlaluan.
"Bagi kami itu keterlaluan, kami tidak bisa mencernanya dengan akal sehat pernyataan seperti itu. Itu dari kelompok golongan manusia macam apa, kok dianggap becanda," kata Mualimin saat dihubungi via sambungan telepon pada Selasa (7/9/2021), siang.
Lebih lanjut, ujar Mualimin, akibat tindakan pelecehan seksual dan perundungan yang ia terima, MS mengalami gangguan psikis selama bertahun-tahun.
"Bertahun-tahun mengalami penderitaan jiwa, masa gitu bercanda? Ini kan keterlaluan. Saya tidak mengerti ini secara rasional akal sehat itu manusia seperti mereka model apa? Hal seperti itu dianggap becanda," ujar Mualimin.
Masih menurut Mualimin, MS sempat memikirkan untuk meminta bantuan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Ketakutan-ketakutan itu selalu muncul dalam pikiran korban, makanya dia juga memikirkan akan ke LPSK dan termasuk soal indikasi identitas dia mulai ketahui publik, itu tidak kita ketahui sumbernya dari mana kan mulai ada," ujarnya.