Intisari-Online.com – Secara resmi, Uni Soviet tidak ada lagi pada tanggal 26 Desember 1991, 74 tahun setelah didirikan pada tahun 1917.
Runtuhnya Uni Soviet ini membuat dunia terkagum-kagum.
Bendera pra-revolusioner dikibarkan di Kremlin, tapi bukannya tanpa gejolak.
Ketika kekaisaran Soviet runtuh, banyak masalah mulai muncul ke permukaan.
Perang saudara, pemberontakan bersenjata, hingga percobaan kudeta mengganggu republik-republik bekas Soviet sepanjang tahun 90-an, ketika kawasan tersebut mencoba menstabilkan diri mereka sendiri.
Tak pelak, beberapa konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis dan agama terjadi, sementara yang lain dipicu oleh perselisihan sejarah yang menghantui daerah tersebut sepanjang abad ke-20.
Kekosongan kekuasaan karena jatuhnya pemerintah terpusat tercermin dalam munculnya elit politik baru, nasionalisme, dan kejahatan.
Berikut ini beberapa konflik yang membentuk wilayah bekas Uni Soviet, seperti dilaporkan warhistory(12/6/2016).
1. Konflik Nagorno-Karabakh
Wilayah Nagorno-Karabakh adalah wilayah yang disengketakan antara Armenia dan Azerbaijan.
Kedua negara itu mengklaim bahwa wilayah itu milik mereka, yang memicu konflik antara kedua faksi.
Pada tahun 1988, sebelum Uni Soviet secara resmi runtuh, bentrokan keras antara separatis Armenia dan Republik Sosialis Soviet Azerbaijan (yang kemudian berubah menjadi Republik Azerbaijan).
Perang berlangsung selama enam tahun, 1988-1994, dengan ribuan korban dan orang-orang terlantar di kedua belah pihak.
Wilayah Nagorno-Karabakh saat ini merupakan negara merdeka de facto, yang masih menjadi milik Azerbaijan.
Konflik sempat muncul kembali sekitar 1 April 2016, bahkan merenggut lebih banyak nyawa.
2. Perang Ossetia Selatan
Wilayah Georgia yang bermasalah di Ossetia Selatan tetap menjadi kenangan baru-baru ini tentang perang Rusia-Georgia pada tahun 2008, tetapi akar konflik tersebut berasal dari waktu jatuhnya Uni Soviet.
Konflik awal dimulai ketika minoritas Rusia di Georgia, terkonsentrasi di Ossetia Selatan, yang menginginkan untuk memisahkan diri dari negara yang baru dibentuk dan bergabung dengan Federasi Rusia.
Ossetia yang independen secara de facto di dalam negara bagian yang dikuasai oleh Georgia.
Perang berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi Rusia, ditandatangani pada 24 Juni 1992, yang membentuk pasukan penjaga perdamaian bersama dan membuat Ossetia Selatan terpecah di antara otoritas yang bersaing.
Namun, meski perang secara resmi telah berakhir, konflik meluas ke Georgia, menyebabkan perang saudara dengan wilayah etnis Rusia lainnya Abkhazia.
3. Konflik Prigorodny Timur
Ketika perang antara Georgia dan Rusia dari Ossetia Selatan pecah, wilayah Kaukasus dilanda konflik.
Ossetia Utara-Alania, sebuah republik federal di Federasi Rusia, yang berbatasan dengan wilayah Georgia yang disengketakan di Ossetia Selatan, jatuh ke dalam konflik etnis dengan minoritas Muslim yang disebut orang Ingush.
Konflik singkat ini berlangsung selama enam hari, dari 30 Oktober hingga 6 November 1992, tetapi dengan konsekuensi yang mengerikan.
Human Rights Watch di Helsinki menetapkan bahwa selama periode enam hari terjadi pembersihan etnis, yang dilakukan oleh pasukan paramiliter Ossetia.
Ditambahkan juga bahwa kejahatan perang dilakukan oleh kedua belah pihak dan bahwa pemerintah Rusia gagal untuk bereaksi dengan baik mengenai kekejaman yang terjadi di wilayah kedaulatannya.
4. Perang saudara di Tajikistan
Pergeseran kekuasaan dalam republik bekas Soviet menyebabkan beberapa minoritas yang merasa kurang mampu untuk bangkit melawan pihak berwenang.
Begitulah situasi di Tajikistan, yang mendeklarasikan kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991.
Setelah pemilihan demokratis pertama yang diselenggarakan di Tajikistan pada tahun 1992, Rahmon Nabiyev, seorang apparatchik Soviet yang terkenal, terpilih sebagai presiden.
Demonstrasi besar-besaran diselenggarakan di jalan-jalan ibu kota, Dushanbe, melawan Nabiyev, yang secara diam-diam mengorganisir milisi untuk menekan kerusuhan.
Sebuah oposisi bersatu muncul dalam gerakan, terutama terdiri dari kelompok etnis Muslim dari wilayah Tajikistan di Garm dan Gorno-Badakshan.
Para pemberontak dipasok dengan senjata dan peralatan oleh Taliban dari negara tetangga Afghanistan.
Konflik berikutnya berlangsung selama lebih dari lima tahun, akhirnya berakhir pada tahun 1997.
Jumlah korban tewas tinggi 50.000 hingga 100.000 militer dan warga sipil tewas, dengan 1,2 juta orang mengungsi.
5. Perang Transnistria
Transnistria adalah republik yang memproklamirkan diri yang terletak di Moldova timur.
Pada tahun 1990, Transnistria memisahkan diri dari Moldova, yang merupakan negara yang muncul setelah pembubaran Uni Soviet.
Transnistria menjadi salah satu "republik tak dikenal" yang muncul di seluruh Uni Soviet, bersama Abkhazia, Ossetia Selatan, dan Nagorno-Karabakh.
Pada tahun 1992, perang pecah antara kedua faksi, dengan Moldova menerima dukungan Rumania dan Transnistria memperoleh perlindungan oleh Federasi Rusia yang Angkatan Darat ke-14 secara aktif berpartisipasi dalam konflik.
Perang berlangsung selama empat bulan dan mengakibatkan jalan buntu yang membuat Transnistria tetap independen hingga hari ini tetapi tidak diakui oleh masyarakat internasional.
6. Krisis Konstitusi Rusia
Sementara konflik skala kecil muncul di seluruh pinggiran bekas Uni Soviet, ketidakstabilan politik bergema dari pusatnya.
Pada tahun 1993, pertikaian politik terjadi antara presiden Rusia saat itu, Boris Yeltsin, dan parlemen Rusia yang diselesaikan dengan menggunakan kekuatan militer.
Ketegangan tinggi pada tahun-tahun pertama Federasi Rusia.
Pada tahun 1991 sebuah kudeta dicobai terhadap Presiden Gorbachov oleh pejabat tinggi Soviet yang tujuannya adalah untuk mencegah runtuhnya Uni Soviet.
Presiden Yeltsin, yang menggantikan Gorbachov, melanjutkan penerapan sistem pasar bebas di Rusia.
Hal ini menyebabkan inflasi yang meroket, pajak baru, dan pengeluaran pemerintah yang jauh lebih sedikit.
Pemerintah sendiri terpecah antara pihak yang mendukung Yeltsin dan pihak yang menentangnya.
Melihat posisinya sebagai presiden terancam, Yeltsin membubarkan parlemen, padahal tindakan tersebut merupakan pelanggaran langsung terhadap konstitusi.
Konflik mencapai puncaknya pada 1 Oktober 1993, ketika sekelompok 600 pendukung Parlemen bersenjata membarikade diri di gedung Parlemen dengan gudang senjata yang besar.
Yeltsin menanggapi dengan mengirimkan tank yang menembaki apa yang disebut Gedung Putih Rusia, mengalahkan pemberontak dalam beberapa hari.
Perkelahian berlanjut di jalan-jalan, mengakibatkan korban jiwa.
Pemerintah Rusia memperkirakan 187 tewas dan 437 terluka, tetapi pihak oposisi mengklaim bahwa pembersihan dilakukan selama pemberontakan di mana lebih dari 2.000 orang kehilangan nyawa mereka.
Setelah Boris Yeltsin menegaskan posisinya sebagai Presiden Federasi Rusia, perang pecah di Republik Federal Chechnya.
Di satu sisi adalah Tentara Rusia dan di sisi lain separatis Chechnya yang memiliki hubungan dekat dengan ekstremis Islam.
Republik kecil di Kaukasus sebagian besar dihuni oleh penduduk Muslim, sehingga perang memiliki latar belakang agama.
Perang pecah pada tahun 1994 dan berlangsung hingga tahun 1996, ketika Rusia dipaksa untuk menandatangani gencatan senjata dan menarik diri dari Chechnya, meninggalkannya secara de facto merdeka.
7. Perang Chechnya Pertama
Menjadi salah satu konflik paling berdarah yang terjadi setelah runtuhnya Uni Soviet, meskipun jumlah korban tidak pernah disepakati secara resmi oleh kedua belah pihak.
Angka resmi untuk kematian militer Rusia adalah 5.732, sementara sebagian besar perkiraan menyebutkan jumlahnya antara 3.500 dan 7.500, atau bahkan setinggi 14.000.
Meskipun tidak ada angka akurat untuk jumlah pasukan Chechnya yang tewas, berbagai perkiraan menyebutkan jumlahnya sekitar 3.000 hingga lebih dari 15.000 kematian.
Berbagai angka memperkirakan jumlah kematian warga sipil antara 30.000 dan 100.000 tewas dan mungkin lebih dari 200.000 terluka, sementara lebih dari 500.000 orang mengungsi akibat konflik, yang meninggalkan kota dan desa di seluruh republik dalam reruntuhan.
Konflik menyebabkan penurunan yang signifikan dari populasi non-Chechnya karena kekerasan dan diskriminasi.
Ini juga merupakan permulaan untuk Perang Chechnya Kedua tahun 1999 yang berlangsung hingga 2009 ketika Rusia sekali lagi membangun kehadiran negara dan militernya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari