Intisari-online.com -Sejak tahun 2012 lalu, Indonesia sudah digadang-gadang akan menyambut bonus demografi dimulai sejak tahun 2020.
Bonus demografi adalah periode suatu negara ketika tanggungan 100 penduduk produktif (15-64 tahun) terhadap penduduk tidak produktif berada di bawah 50.
Artinya 100 penduduk usia produktif hanya menanggung beban 50 penduduk usia non produktif.
Penduduk non produktif berusia anak-anak (<15 tahun) dan lansia (>65 tahun).
Jika penduduk produktifnya lebih tinggi maka penduduk produktif itu bisa menjadi sarana pembangunan negara yang diharapkan bisa dipacu lebih cepat daripada biasanya.
Tentunya kondisi ini potensial bagi suatu negara untuk bisa dengan cepat menjadi negara kaya, karena kecilnya beban yang ditanggung.
Peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa ini harusnya dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Memang diperlukan upaya untuk mendapatkan bonus tersebut yaitu dibutuhkan sumber daya manusia yang baik, lapangan kerja berkualitas, masuknya perempuan di pasar kerja dan besarnya tabungan masyarakat.
Namun benarkah Indonesia bisa meraih hasil dari bonus demografi itu di tahun 2021 ini?
Melansir wawancara Kompas.id dengan Ketua Lembaga Demografi FEB UI, Turro S. Wongkaren, inilah kenyataan puncak bonus demografi yang terhantam pandemi Covid-19.
Pertama, syarat bonus demografi bisa tercapai dan dinikmati negara adalah tersedianya lapangan kerja berkualitas.
Seperti diketahui, kondisi itu kontras dengan Indonesia saat ini.
Sejak Maret 2020 Covid-19 membuat impian Indonesia membangun ekonomi lebih stabil dan mencapai bonus demografi makin sulit.
Sebelum pandemi Covid-19 saja banyak pakar kependudukan meragukan kemampuan Indonesia memetik hasil bonus demografi, kini malah ditambah adanya Covid-19 semakin nyata pula kesulitan itu.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020 yang diumumkan Februari 2020, sebulan sebelum kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan, Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja sebesar 137, 91 juta orang atau setara dua kali penduduk Thailand, lebih empat kali penduduk Malaysia dan hampir 24 kali penduduk Singapura.
Dari angkatan kerja sebanyak itu, 131,03 juta orang bekerja dan 6,88 juta menganggur.
Covid-19 mengubah semuanya.
Pada Juni 2020, Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) memperkirakan ada 1,7 juta pekerja kehilangan pekerjaannya.
Jumlah itu bertambah 2,92-5,23 juta hingga akhir tahun 2020.
Sedangkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut ada 6,4 juta pekerja menganggur gara-gara Corona.
Proyeksi Center of Reform on Economics Indonesia menyebutkan pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2020 hanya 2,97%, akibatnya pengangguran di bulan April-Juni 2020 kemarin bisa bertambah 6-9 juta orang.
“Pertumbuhan ekonomi di Triwulan II 2020 diperkirakan minus 7 persen hingga minus 3 persen,” kata Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LDUI) Turro S Wongkaren, Kamis (9/7/2020).
Minusnya pertumbuhan ekonomi membuat jumlah penganggur bertambah besar.
Perhitungan penganggur ini belum termasuk pekerja nonformal yang jumlahnya jauh lebih besar daripada pekrja formal.
Pekerja informal jauh lebih terdampak, padahal mereka hanya bisa mengandalkan pendapatan hari ini untuk hidup esok hari.
Hal ini diperburuk dengan pekerja migran Indonesia baik legal maupun ilegal yang terpaksa kembali ke Indonesia akibat sedikitnya pekerjaan tempat negara mereka menetap.
Kembalinya mereka baik ke daerah asal atau terpaksa menetap sementara di daerah perbatasan malah semakin membebani daerah yang mereka tinggali.
Lonjakan penganggur menjelang puncak bonus demografi itu tentu menyedihkan bagi Indonesia.
Pasokan tenaga kerja produktif yang melimpah justru tidak bisa terserap pasar atau tidak bisa berusaha mandiri akibat pandemi Covid-19 yang belum jelas sampai kapan akan berakhir.
Indonesia lantas terburu-buru menerapkan new normal pada pertengahan tahun 2020 lalu, tapi hal itu juga tidak langsung membuka dunia usaha secara otomatis.
Pengangguran mengarah pada kemiskinan, yang membuat makin sulitnya investasi sumber daya manusia, membuat makin sulit perempuan untuk masuk ke dunia kerja, dan berdampak pada berkurangnya tabungan masyarakat.
Yang ada, tabungan justru diambil terus-terusan untuk menutupi kebutuhan hidup selama pandemi Covid-19.
“Kesempatan Indonesia untuk memetik bonus demografi makin kecil. Tanpa Covid-19 pun, upaya Indonesia untuk mengejar bonus demografi tak maksimal,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli dan Pemerhati Demografi Indonesia (IPADI) Sudibyo Alimoeso dalam webinar Sabtu (13/6/2020).
Jika Indonesia gagal meraih bonus demografi, Indonesia bisa masuk dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah dan terjebak dalam middle income trap yang menyebabkan Indonesia kesulitan jadi negara kaya.
Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih menjadi tonggak selamatnya ekonomi Indonesia, tapi tidak semua UMKM bisa menyelamatkan Indonesia saat ini.
Beberapa yang bisa berhasil adalah yang memiliki bisnis daring.
Secara umum bisnis daring memiliki risiko yang cukup kecil, terutama jika pelaksanaannya menjadi penjual barang orang lain (reseller), kemudian waktu kerja bebas, biaya operasional murah, modal kecil dan bisa menjangkau pasar yang luas.
Namun perlu diperhatikan usaha daring perlu keterampilan terkait internet ataupun media sosial.
Meski sulit, bukan berarti itu tidak bisa dicoba.
Nyatanya, survei Divisi Ilmu Konsumen dan Ekonomi Keluarga (IKEK), Departemen Ilmu Konsumen dan Keluarga (IKK), Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan ada 3,6 persen responden mengaku pendapatan mereka justru meningkat selama pandemi.
Peningkatan pendapatan itu dicapai melalui wirausaha.
“Mereka mampu menangkap peluang dengan menambah pekerjaan sebagai wirausaha saat pandemi, ” kata Kepala Divisi IKEK, Departemen IKK, IPB, Lilik Noor Yuliati dalam webinar Kamis (18/6/2020).
Lilik melanjutkan ide bisnis daring yang bisa dipilih meliputi penjualan makanan beku, sayur dan buah atau makanan siap saji, alat sanitasi, pelindung diri, vitamin sampai jamu.
Jasa bimbingan belajar atau pelatihan kompetensi yang dilaksanakan secara virtual juga bisa menghasilkan.
Tidak hanya itu, Indonesia tidak akan selamat jika masih bergerak sendiri-sendiri, perlu dilakukan lewat mengembangkan usaha berbisnis keluarga atau dengan gotong royong dan kepedulian sosial.
Jika saling bergerak bersama maka Indonesia bisa segera pulih.