Luhut Boleh Berencana, AS Lah yang Kelak Menentukan, Kala Ambisi Indonesia Jadi Produsen Baterai Mobil Listrik Terbesar Sejagat Terancam Dijegal Hanya dengan Cara Culas Ini

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Luhut Binsar Pandjaitan

Intisari-Online.com - Cadangan nikel menjadikan Indonesia mampu bersaing menjadi produsen lithium besar di dunia.

Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan ketika memimpin Rapat Koordinasi Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Transportasi di Kawasan Merak-Bakauheni-Tol Lampung, Selasa (26/1/2021).

"Indonesia mempunyai potensi sebagai produsen (baterai) lithium terbesar kedua di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), cadangan nikel kita yang beragam menjadikan Indonesia tentu mampu bersaing di kancah ini," ujarnya melalui keterangan tertulis, dilansir dari Kontan.co.id, Rabu (27/1/2021).

Bahkan, Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik atau Electric Vehicle (EV) Agus Tjahajana Wirakusumah menyatakan, telah selesai menyusun peta jalan produksi baterai di Indonesia.

Baca Juga: Menteri Luhut Sampai Menyebutnya 'Pembuka' Industri Kendaraan Elektrik di Indonesia, Smelter Nikel RI-China Ini Dicacat Mati-matian Oleh Pihak Internasional, Ini Sebabnya

Melalui diskusi secara daring bersama Persatuan Insinyur Indonesia (PII) belum lama ini, Agus megatakan, telah menetapkan target pada 2030 baterai buatan dalam negeri tersebut sudah bisa digunakan.

"Sehingga kita bisa bersaing dengan negara lain. Kami harap tahun 2024 akhir sudah bisa terealisasi (pembuatan pabrik)," ucap Agus yang juga mantan pejabat eselon satu di Kementerian Perindustrian, dalam acara itu.

Sayangnya, rencana ini juga berarti bahwa Indonesia kemungkinan akan terlibat dalam persaingan teknologi yang semakin intensif antara AS dan China.

Pertama, negara Asia Tenggara merupakan bagian penting dari rantai pasokan EV China, dan China telah menjadi salah satu mitra ekonomi dan pembangunan terpenting Indonesia.

Baca Juga: Indonesia Berhasil Dijadikan China Sebagai Pabrik Listrik Mereka, Tetapi Menteri Luhut Justru Ketar-ketir Karena Hal Ini

Dua dari pusat produksi terpenting untuk pengolahan nikel, Indonesia Morowali Industrial Park dan Indonesia Weda Bay Industrial Park, mayoritas dimiliki oleh Tsingshan Group, raksasa nikel dan baja China.

Dilanasir dari SCMP, Rabu (7/7/2021), babrik China yang memproduksi bahan kimia nikel dijadwalkan akan beroperasi dalam beberapa tahun ke depan, sementara CATL, produsen baterai lithium-ion terbesar di China, akan membuka pabrik untuk komponen tersebut di Indonesia yang akan mulai berproduksi pada 2024.

Ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada China telah menjadi isu politik yang hangat di Indonesia.

Sementara Indonesia diuntungkan dari kerja sama ekonomi pragmatis, Indonesia juga berupaya mendiversifikasi eksposur ekonominya ke China.

Baca Juga: Miliki Hubungan Dekat dan Akui Diri Sebagai Sekutu Indonesia, Menlu China Telepon Menteri Luhut, BicarakanBanyak Hal Termasuk Soal Vaksin Covid-19

Usaha patungan yang direncanakan antara konsorsium empat perusahaan milik negara dengan LG Chem Korea Selatan, Tesla, dan Panasonic Jepang akan membantu melemahkan kehadiran China dan memberikan sumber keahlian alternatif dalam teknologi baterai dan EV.

Untuk memastikan Indonesia memperoleh nilai ekonomi dari aktivitas nilai tambah, 60 persen nikel yang dipasok ke mitra asing harus diolah menjadi baterai lokal.

Sementara mengejar kerja sama ekonomi dengan banyak mitra adalah trik lama dalam buku pedoman kekuatan besar, lindung nilai bisa lebih sulit di era tekno-nasionalisme yang berkembang.

Posisi Indonesia sebagai pemasok baterai lithium-ion untuk produksi EV China dapat diartikan berpotensi memusuhi kepentingan nasional dan ekonomi Amerika.

Baca Juga: Menteri Luhut Binsar Pandjaitan Kembali Dapat Kemungkinan Rangkap Jabatan Setelah Siap Jadi Ketua PB PASI, Sosoknya Sampai Disorot Media Asing Sebagai 'Mr Fixit'

Di sisi lain, AS telah menanggapi dalam tinjauan rantai pasokan baru-baru ini dengan meminta mitra seperti Kanada, Australia, dan Brasil untuk memasok bahan baku penting yang dibutuhkan untuk produksi baterai lithium-ionnya, yang disebut friend-shoring.

Bagi Indonesia, ini adalah situasi yang rumit dan canggung.

Jika dunia bergerak menuju pembentukan blok perdagangan saingan, terutama atas teknologi utama, ini akan menyulitkan Indonesia untuk menemukan jalan tengah dan mengejar tujuan pembangunan domestiknya.

Misalnya, AS dapat menekan sekutu untuk menghentikan ekspor lithium ke Indonesia, seperti halnya Korea Selatan dan Israel yang ditekan untuk mengurangi ekspor teknologi ke China.

Lithium adalah kerentanan yang signifikan bagi ambisi EV Indonesia karena tidak memiliki pasokan domestik.

Baca Juga: Tidak Resmi dan Seolah Dirahasiakan, Apa yang Sebenarnya Terjadi dalam Pertemuan Trump dan Luhut? Benarkah Seputar Proyek Puluhan Triliun Rupiah?

(*)

Artikel Terkait