Intisari-online.com -Ekonomi Asia yang sempat tumbuh dengan cepat kini kesulitan untuk kembali menjaga pacu yang sama.
Hal ini disebabkan karena rendahnya permintaan domestik yang menahan inflasi, kontras dengan beberapa pasar negara maju.
Akibatnya adalah meningkatkan kemungkinan banyak bank sentral akan memilih mengabaikan kenaikan suku bunga tahun ini, seperti dikutip dari Reuters.
Untuk investor dan pembuat kebijakan di pasar Asia yang baru tumbuh, inflasi tinggi dan tidak stabil selalu berjalan seiring dengan pertumbuhan yang kuat dan menopang perkembangan mereka.
Namun itu semua berubah dengan vaksinasi yang lambat dan gelombang baru infeksi virus Corona menghambat pemulihan ekonomi di Indonesia, Thailand, Filipina dan India.
Memang beberapa negara-negara Asia melihat inflasi naik, namun mendatarkan pertumbuhan tetap menjadi prioritas lebih tinggi bagi negara-negara itu walaupun inflasi naik menarik perhatian negara-negara Barat seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada.
Harga komoditas lebih tinggi mempengaruhi Asia, demikian juga dengan seluruh dunia, dengan meningkatnya biaya bahan mentah.
Korea Selatan juga bersiap untuk kenaikan suku bunga segera setelah tahun ini ekonomi dan pasar perumahan menggelora.
Namun permintaan yang lambat akan membuat inflasi jauh dari zona merah dan mencegah tekanan mendera sebagian besar bank-bank central Asia untuk merespon kebijakan moneter lebih ketat, seperti diungkapkan analis.
"Meningkatnya infeksi memaksa beberapa negara Asia menerapkan pembatasan aktivitas yang akan menurunkan inflasi, tren yang akan berlanjut beberapa lama," ujar Makoto Saito, ekonom di Institut Penelitian NLI Jepang.
"Karena permintaan domestik yang lemah, banyak ekonomi Asia yang tidak akan melihat peningkatan bombastis inflasi bertahan lama. Artinya bank central mereka kemungkinan tidak akan meningkatkan suku bunga sampai tahun depan," ujarnya.
Bank central Thailand mempertahankan catatan suku bunga rendah bulan ini dan memproyeksikan inflasi hanya 1.2% tahun ini.
Hal ini terjadi karena Thailand yang berkembang lewat turisme harus menghadapi gelombang ketiga infeksi Covid-19.
Kemudian inflasi di Filipina mencapai titik 4.5% Mei lalu dari setahun sebelumnya, meskipun bank central mereka menyimpan catatan suku bunga rendah tahun ini.
Filipina juga memproyeksikan inflasi kembali ke target mereka 2-4% pada paruh kedua tahun 2021 ini.
Sedangkan inflasi Indonesia dipercepat menjadi 1.68% Mei lalu dari 1.42% April kemarin.
Inflasi ini jadi penanda peningkatan tertinggi sejak Desember.
Namun inflasi yang tercatat masih terhitung rendah karena di bawah jangkauan BI, 2-4%.
Bahkan di India, di mana inflasi retail meningkat menjadi 6.3% Mei kemarin, bank central kemungkinan bereaksi dengan kebijakan lebih ketat untuk meredam pukulan agar mampu tumbuh lagi dari gelombang kedua pandemi Covid-19, seperti yang ditangkap Reuters.
Situasi Asia kontras dengan pasar yang terus tumbuh di Amerika Latin.
Risiko inflasi dan pelarian modal telah memicu suku bunga meningkat atau pembicaraan tentang pengetatan.
Pelarian modal secara singkat adalah seluruh aliran modal keluar yang dilakukan oleh penduduk dari suatu negara akibat hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintahnya.
Pengetatan bank central AS
Sementara pengetatan dari AS tetap menjadi risiko bagi bank central di Asia, pelajaran yang didapat dari krisis finansial Asia tahun 1998 dan 2013, 'tantrum' telah membuat Asia lebih tahan dengan risiko arus keluar modal besar yang dipicu oleh sikap The Fed, sistem bank central AS.
"Cadangan devisa Asia, selain China, telah mencapai rekor tertinggi baru sehingga sudah pasti ada lebih banyak penyeimbang yang harus dimiliki bank central Asia guna mengelola volatilitas," ujar Khoon Goh, kepala riset Asia di Bank ANZ, Singapura.
Permintaan lokal yang macet mematikan impor walaupun ekspor ke belahan dunia lain meningkat.
Hal ini akan sangat rentan di Indonesia, karena mempersempit defisit akun yang sedang berlangsung.
Indonesia jadi rentan terhadap pelarian modal, seperti dijelaskan pakar.
Sementara luka pandemi mungkin baru mulai sembuh tahun depan, prospek melunakkan inflasi mungkin berarti kebijakan The Fed kemungkinan memiliki dampak besar dalam kebijakan moneter Asia daripada inflasi.
Tes sebenarnya bagi bank central Asia dapat datang tahun depan, ketika The Fed mungkin mengirimkan sinyal lebih jelas terkait prospek meningkatnya suku bunga dan menaruh tekanan lebih tinggi dalam hasil obligasi negara.
"Jika melihat peningkatan hasil obligasi AS, bisa dilihat peningkatan hasil obligasi di Asia kembali cukup kuat sehing tidak sepenuhnya terpisahkan pada aspek tersebut," ujar pakar strategi investasi Joanne Goh.
HSBC sudah siap-siap menjauh dari ujung panjang kurva imbal hasil untuk ekonomi Asia dengan hasil tinggi, khawatir dengan posisi bank central mereka yang terjepit ketika The Fed meningkatkan suku bunga.
"Kurasa itu nanti akan lebih tidak nyaman, mungkin tidak tahun ini tapi masuk tahun depan terutama ketika Anda melihat penurunan inflasi sebenarnya," ujar Andre de Silva, kepala peneliti tingkat tumbuhnya pasar global di HSBC.