Penulis
Intisari-online.com -Beijing berniat menggelar investasi besar-besaran di negara-negara Asia Tenggara.
Lewat proyek infrastruktur besar mereka, China berniat tumbuhkan ekonomi Asia Tenggara.
Namun rupanya banyak tantangan yang dihadapi China ini.
Salah satunya seperti yang dilakukan di Indonesia.
Baca Juga: Tak Berguna, Proyek Super Mahal Timor Leste Ini Justru Bikin Negara Masuk Jebakan Utang China
Mengutip The Diplomat yang mengutip pemberitaan Majalah Tempo mengenai proyek jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Proyek itu merupakan salah satu proyek mewah Belt and Road Initiative (BRI) China di Indonesia.
Namun proyek ini mangkrak karena pertimbangan finansial dan lingkungan.
Bukan kali pertama proyek menghadapi isu dan penundaan.
Tahun lalu dilaporkan jika proyek jalur kereta ini ditunda karena Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Indonesia berargumen jika konstruksi poryek mengganggu aliran transportasi di jalan toll Jakarta-Cikampek, jalan toll Purwakarta-Bandung-Cileunyi dan jalan non-toll lain yang berada di jalur kereta.
Penimbunan bahan konstruksi di bahu jalan dianggap mengganggu drainase di situs proyek.
Perusahaan penggarap gabungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), gabungan antara BUMN Indonesia melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd dari China juga terlambat membangun sistem drainase untuk proyek tersebut.
Hasilnya, banjir tumpah ruah di badan jalan toll awal Januari 2021 lalu.
Kejadian yang sama terulang di akhir bulan Februari, menyebabkan macet panjang.
Proyek senilai 6 miliar Dolar itu juga mengalami serangkaian penundaan baru-baru ini karena pandemi Covid-19.
Penundaan yang sama juga telah menjadi kunci proyek BRI di negara lain termasuk Pakistan dan Sri Lanka.
Deputi Menteri Luar Negeri Ma Zhaoxu berargumen tahun lalu jika "dampak wabah kepada pengembangan BRI hanyalah sementara" dan bahwa Beijing tetap "bersedia bekerja dengan semua pihak untuk terus mempromosikan perkembangan BRI kualitas tinggi. Kami percaya diri akan ini."
Kenyataannya banyak proyek China mangkrak jauh sebelum pandemi Covid-19 berjalan, sesuatu yang seharusnya menjadi pengingat bagi Indonesia sebelum sepakat menandatangani proyek besar infastruktur BRI.
Konflik yang dihadapi selanjutnya adalah terkait dengan pertentangan warga.
Hal ini terjadi di proyek BRI selanjutnya yaitu pembangunan bendungan tailing di zona gempa di Dairi, Sumatera Utara.
Melansir DW, sebuah tambang seng dan timah akan dibangun di desa Longkotan dan Parongil beserta bendungan penampungan limbah.
Wilayah itu terdiri dari bukit kecil dengan di atasnya berdiri gereja hijau terbuat dari kayu, dengan atap seng yang mulai lapuk.
Gereja HKBP Sikem itu kelak akan digusur untuk dijadikan tambang.
Perusahaan China yang bertanggung jawab, Kelompok Pertambangan Logam Non Ferrous China (NFC), bekerjasama dengan raksasa keluarga Bakrie, Bumi Resources lewat PT. Dairi Prima Mineral (DPM) menggerakkan proyek pertambangan senilai 630 juta Dolar.
DPM mengklaim sudah mendapat persetujuan relokasi dan tukar guling bangunan dengan pengelola gereja.
Namun warga terang-terangan membantah.
Salah satu warga, Jaben Sahiloho, sudah mendiami lembah Sopokomil sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Ia menyebut warga terpaksa menyerah.
Mereka memilih adanya tambang terbuka daripada dipaksa tinggal di tepi kolam limbah.
Mereka berpikir dengan itu setidaknya mereka direlokasi.
"Apa bisa tailing dekat dengan pemukiman?” tanyanya dalam nada tak percaya. "Menurut saya karena pernah dulu studi banding ke Pongkor melihat taling, tidak ada pemukiman berada di dekat tailing.”
Istrinya, Asmarina Karosekali, mengaku tidak sampai hati menjual tanah sendiri.
"Ini adalah tanah wasiat kami untuk anak dan cucu kami. Jadi kami sayang dengan tanah ini,” dikutip dari DW.