Intisari-Online.com -Pembebasan lahan yang terjadi saat ini, hingga bisa membuat warga desa memborong mobil, rasanya mustahil terjadi di Orde Baru.
Bahkan kala itu istilah yang lebih tepat digunakan bukanlah "pembebasan lahan", melainkan "perampasan lahan".
Belum lagi bayangan akan tuduhan sebagai antek-antek PKI jika sampai menolak upaya pembebasan lahan dengan alasan pembangunan tersebut.
Setidaknya itulah yang digambarkan oleh Fatimah Suganda dalam tulisan "Perampasan Tanah dan Reproduksi Pelanggaran HAM Orde Baru" yang tayang diwalhijatim.or.idpada 2016.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan kabar tentang suatu desa yang beberapa warganya membeli mobil baru dalam waktu berdekatan.
Setelah diselidiki, ternyata mereka adalah warga DesaSumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Kepala Dusun Pomahan, Desa Sumurgeneng, Kasiyanto mengungkapkan ada 17 mobil yang datang pada Minggu (14/2/2021). Mobil-mobil itu dipesan dari Surabaya dan Gresik.
"Rata-rata mobil yang mereka beli jenis Innova, HRV, Expander, Pajero, dan Honda Jazz," ujar Kasiyanto, saat ditemui Kompas.com di Balai Desa Sumurgeneng, Rabu (17/2/2021).
Aksi warga tersebut bermula dari kesepakatan menjual tanahnya kepada PT Pertamina.
Setelah menerima pembayaran tahap akhir dari hasil konsinyasi yang dititipkan di Pengadilan Negeri Tuban, barulah mereka memborong mobil.
Lahan di sana bakal dipakai untuk proyek pembangunan kilang minyak new grass root refinery (NGRR) yang merupakan kerja sama antara Pertamina dengan perusahaan asal Rusia, Rosneft.
Kasiyanto menyampaikan ternyata warga yang memborong mobil itu dulunya sempat menolak menjual tanahnya.
"Mereka yang membeli mobil baru secara bersamaan kemarin itu kelompok yang dulunya menolak keras menjual tanahnya," beber dia.
Di Dusun Pomahan, Desa Sumurgeneng, ada 70 kepala keluarga (KK) yang mendapat uang hasil penjualan tanah ke Pertamina.
Kata Kasiyanto, dari jumlah itu, terdapat sekitar 50 KK yang awalnya menolak keras menjual tanahnya.
Dilansir dari Surya.co.id, Selasa (16/2/2021), nilai tanah dibeli dengan harga Rp600-800 ribu per meter.
Ini jauh lebih tinggi dari harga tanah di sana pada umumnya yang biasanya Rp100-150 ribu.
Uang pembebasan lahan yang diterima juga bervariasi, mulai dari Rp28 juta.
Namun, sebagian besar warga mendadak jadi miliarder karena memperoleh duit sebesar Rp8-10 miliar.
Warga yang punya lahan 4 hektar menerima Rp26 miliar.
Ada juga warga Surabaya yang memiliki lahan di sana, mengantongi Rp28 miliar.
'Pembebasan Lahan' ala Orde Baru
Cerita-cerita tentang mereka yang kaya mendadak, seperti dipaparkan di atas tentu saja diimpikan oleh banyak orang.
Tapi, jangan sekalipun untuk berani memimpikan akan terjadinya hal serupa jika Orde Baru masih berkuasa.
Dalam"Perampasan Tanah dan Reproduksi Pelanggaran HAM Orde Baru", Fatimah Suganda memaparkan betapa mengerikannya proses perampasan lahan di era Orde Baru.
Kala itu, proses perampasan lahan yang dimiliki masyarakat biasanya dilakukan untuk digunakan oleh Perhutani dan perusahaan swasta yang memiliki Hak Guna Usaha.
Dengan alasan untuk pembangunan, proses pengalihan lahan tersebut seringa kali melibatkan intimidasi, penyiksaan, bahkan tidak jarang dengan pembunuhan.
Peristiwa 30 September, yang juga menjadi awal lahirnya Orde Baru, turut menjadi senjata 'pelabelan' bagi mereka yang menolak menyerahkan tanahnya.
Sebuah label yang sangat mengerikan jika diberikan pada era Orde Baru akan diberikan kepada keluarga penolak alih fungsi lahan, yaitu simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
MenurutFatimah, Orde Baru adalah gerbang awal dari masuknya pola-pola perampasan lahan (land grabbing) di Indonesia.
Jadi, boro-boro bermimpi jadi miliarder dadakan, bisa jadi lahan milik Anda akan begitu saja menjadi milik pemerintah tanpa ganti rugi sepeser pun di era Orde Baru.
Mengerikan!