Penulis
Intisari-online.com- Belakangan viral sebuah kisah di desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur yang berbondong-bondong beli mobil.
Warga Sumurgeneng ketiban rejeki dari kompensasi pembebasan lahan oleh proyek kilang minyak.
Satu warga mendapatkan kompensasi berbeda-beda mulai Rp28 juta hinga Rp10 miliar.
Berbicara soal rejeki nomplok dari kilang minyak, hal ini mengingatkan kisah tentang sebuah negara yang jatuh melarat setelah manjakan rakyatnya.
Negara tersebut padahal sempat dijuluki sebagai raja minyak, namun kini justru untuk makan saja kesulitan.
Ngara ini awalnya memiliki tambang minyak melimpah namun mengalami krisis ekonomi karena inflasi.
Krisis yang dialami oleh Venezuela sudah mulai dirasakan sejak kematian mantan presiden Hugo Chavez pada 2013 lalu.
Namun semakin parah karena tingkat inflasi yang sangat tinggi hingga rakyatnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Uang kertas bolivar (mata uang Venezuela) nyaris tak ada nilainya dan merupakan salah satu mata uang dengan nilai tukar paling rendah di dunia.
Padahal dulu negara ini terkenal sangat kaya raya.
Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia.
Tapi kekayaan itu yang kemudian menjadi awal dari kehancuran Venezuela.
Seperti negara penghasil minyak lainnya, 95% pemasukan Venezuela berasal dari ekspor minyak.
Ini artinya uang masuk ke negara ini sangat bergantung pada harga minyak dunia.
Saat harga minyak dunia sedang tingi, pemasukan negara sangat besar dan begitu pula sebaliknya.
Venezuela juga mengalami kesenjangan sosial yang sangat besar dengan semua orang kaya sebagai pemilik bisnis di negara itu.
Mengakibatkan warga miskin makin miskin.
Sejak Hugo Chavez berkuasa di tahun 1999, Chavez langsung menerapkan kebijakan untuk menyetarakan ekonomi rakyat.
Sebagian besar keuntungan negara dari penjualan minyak dialokasikan untuk program sosial gratis bagi rakyat, termasuk subsidi dan usaha-usaha mengentaskan kemiskinan.
Chavez juga berani memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat dan bergabung dengan China dan Rusia.
Kedua negara inilah yang akhirnya meminjamkan dana miliaran dollar pada Venezuela.
Chavez juga mendeklarasikan lahan pertanian sebagai milik negara tapi malah mengabaikannya karena merasa kondisi ekonomi Venezuela yang baik-baik saja.
Akibatnya, Venezuela murni hanya bergantung pada penjualan minyak ke luar negeri.
Dana terus dikucurkan untuk rakyat tanpa disadari Chavez bahwa ini adalah bunuh diri perlahan.
Hingga kematiannya pada 2013, Chavez dijuluki sebagai pahlawan bagi orang miskin Venezuela.
Selepas Chavez mengkat, Maduro menggantikannya dan meneruskan program subsidi ala Chavez.
Tahun 2016, harga minyak dunia turun drastis dan penghasilan Venezuela terpangkas habis.
Kas pemerintah kosong bahkan defisit karena program untuk rakyat tetap dijalankan.
Maduro mengambil keputusan salah.
Bukannya mencari solusi dengan menambah lini produk ekspor, dia malah mencetak uang sebanyak mungkin.
Nilai tukar bolivar melorot tajam.
Inflasi tak terkendali dan tingkat harga barang naik hingga 1000%.
Keadaan di Venezuela benar-benar kacau dan bahkan rumah sakit pemerintah tak mampu lagi menyediakan pasokan obat-obatan.
Laiknya efek domino, ini menyebabkan banyak warga kaya memilih meninggalkan Venezuela.
Kini negara ini terpuruk dan nyaris tak mampu bangkit lagi.
Selain sanksi Amerika Serikat terhadap industri minyak Venezuela, sikap 'terlalu baik' pemerintah juga jadi salah satu penyebabnya. (*)
Source: Wiken