"Untuk warga tidak mampu kami gratiskan. Kalau untuk instansi atau pihak kelurahan, kami memungut biaya untuk peti mati. Itu pun hanya sekadar biaya produksi saja," ucapnya.
Harga peti mati di pasaran berkisar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta, tetapi pihaknya hanya memungut Rp800.000.
Ia bisa menjual murah karena beberapa bahan juga bantuan dari warga.
Penjualan tersebut, lanjut Antok, sebagai subsidi silang. Uang yang dihasilkan untuk menjamin keberlangsungan pembuatan peti mati selanjutnya.
Produksinya terus dilakukan sebab kebutuhan peti mati tersebut cukup tinggi dan banyak warga tidak mampu yang membutuhkannya.
Antok mengaku tetap bergerak di tengah masyarakat meski pandemi cukup mengkhawatirkan, alasannya adalah rasa kepedulian atas realita yang ada.
"Ya mohon maaf, realitanya sekarang kalau ada orang mati kena Covid-19, kasihan banget gak ada yang mendekat. Makanya harus ada yang peduli, meskipun tetap harus protokol kesehatan. Kepedulian tidak boleh mati." ujarnya.
Tetangga Bantu Tetangga
Peran tetangga menjadi cukup sentra bagi warga yang tengah menjalani isolasi mandiri di rumah.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR