Intisari-Online.com - Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur Jawa setelah isi Perjanjian Tuntang ditandatangani Inggris dan Belanda pada September 1811.
Hal itu karena berkat upayanya, Inggris berhasil merebut Nusantara dari Belanda.
Stamford Raffles memimpin serangan Inggris terhadap wilayah kekuasaan Belanda di Pulau Jawa.
Kekuasaan Nusantara yang kala itu berada di tangan Belanda pun jatuh ke tangan Inggris.
Baca Juga: Isi Perjanjian Tuntang, Ketika Inggris Rebut Indonesia dari Belanda
Sebelumnya, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berkuasa di Indonesia, yaitu antara tahun 1808 hingga 1811.
Kemudian, ia digantikan Jan Willem Janssens yang tidak lama menjabat karena terus diserang Inggris.
Perjanjian Tuntang sendiri berisi tentang penyerahan kekuasaan di Nusantara atau Indonesia dari pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Britania-Raya.
Peristiwa itu terjadi di sebuah desa bernama Tuntang, sekarang berada di bawah kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang.
Berikut ini isi Perjanjian Tuntang:
Pada tahun 1816 juga, pemerintahan Raffles berakhir, dengan segala reformasi yang dilakukannya dianggap terlalu mahal bagi East Indian Company (EIC), kongsi dagang Inggris yang mencari untung.
Sementara itu, selama berada di bawah kekuasaan Raffles, Bangsa Indonesia tetap merasa tertindas meski kebijakan yang diterapkannya dinilai lebih longgar.
Apa saja kebijakan yang diterapkan Letnan Gubernur Stamford Raffles?
Mengutip dari Encyclopaedia Britannica, Raffles menggunakan prinsip administrasi Inggris dan prinsip ekonomi liberal, saat ia menjabat sebagai gubernur jenderal.
Selain itu, Raffles juga menghentikan penanaman wajib yang pernah diterapkan Belanda dan turut memperluas produksi pertanian Jawa.
Ia meyakini jika hal tersebut bisa meningkatkan pendapatan serta menjadikan Pulau Jawa sebagai pasar barang Inggris.
Sebagai gantinya, ia menerapkan sistem sewa tanah atau pajak tanah.
Kebijakan dan program sewa tanah yang dicanangkan Raffles ini terkait erat dengan pandangannya mengenai status tanah sebagai faktor produksi.
Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah.
Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila penduduk Jawa menjadi penyewa dengan membayar pajak sewa tanah yang diolahnya.
Ketentuan sistem sewa tanah pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Raffles adalah sebagai berikut.
Pajak dalam sistem sewa tanah seharusnya dipungut secara perorangan, tetapi karena kesulitan teknis, kemudian dipungut per desa.
Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produktivitas tanah.
Hasil sawah kelas satu dibebani pajak 50 persen, kelas dua 40 persen, dan kelas tiga 33 persen.
Sementara untuk tegalan kelas satu 40 persen, kelas dua 33 persen, dan kelas tiga 25 persen.
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diharapkan dapat lebih mengembangkan sistem ekonomi di Hindia Belanda, justru akhirnya menemui kegagalan.
Terdapat berbagai kendala yang menyebabkan pemerintah Inggris tidak mendapatkan keuntungan berarti sementara rakyat tetap menderita.
Berikut faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan Land Rent System atau sistem sewa tanah:
(*)