Intisari-Online.com - Tanggal 1 Juli 1863 atau hari ini 158 tahun yang lalu, merupakan hari bersejarah bagi koloni Belanda.
Pada tangga tersebut, perbudakan di koloni Belanda berakhir, termasuk Suriname.
Meskipun bagi Suriname, para budak baru dibebaskan sepenuhnya sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1973.
Mengutip dutchnews.nl (1/7/2021), Hal itu karena undang-undang menetapkan bahwa harus ada masa transisi 10 tahun wajib.
Pemilik budak juga dibayar kompensasi 300 gulden untuk setiap orang yang mereka bebaskan dari perbudakan.
Peringatan berakhirnya perbudakan di Koloni Belanda dikenal sebagai Keti Koti.
Keti Koti berarti 'rantai yang putus' dalam bahasa Suriname, Sranantongo.
Setiap tahun sejak tahun 2002, Keti Koti diperingati di Belanda dengan diadakannya upacara peringatan nasional tang berlangsung di di Oosterpark Amsterdam mulai pukul 1 siang dan disiarkan langsung di televisi.
Dalam upacara peringatan Keti Koti, dilakukan juga mengheningkan cipta selama satu menit dan peletakan karangan bunga.
Namun berkaitan dengan pembatasan Covid-19, melansir dutchnews.nl, tahun ini peringatan hari bersejarah tersebut dibatasi.
Di Suriname, 1 Juli merupakan hari libur nasional. Bahkan, ada kampanye yang sedang dilakukan untuk menjadikannya sebagai hari libur umum di Belanda juga.
Sejauh ini lebih dari 51.000 orang telah menandatangani petisi yang mendukung rencana tersebut.
Kampanye itu dilakukan karena menurut mereka kisah tentang perbudakan dan sejarah kolonial harus dibicarakan secara terbuka.
Seperti yang diungkapkan kepala dewan Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dan Utrecht awal bulan ini.
Namun, Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan tahun lalu bahwa pemerintah Belanda tidak memiliki rencana saat ini untuk menawarkan permintaan maaf atas perbudakan dan peran Belanda dalam perdagangan budak.
Diungkapkan, hanya 55% dari populasi yang mendukung gagasan tersebut.
Pada puncaknya tahun 1770-an, perbudakan menghasilkan lebih dari 10% dari produk domestik bruto Belanda, menurut peneliti sejarah sosial.
Pendapatan dari perdagangan tembakau, pengolahan gula dan pembuatan kapal didorong oleh penggunaan tenaga kerja budak yang digunakan untuk bercocok tanam di perkebunan, menurut para peneliti di International Institute for Social History.
Profesi lain, seperti notaris dan bankir, juga diuntungkan dari perbudakan.
Secara keseluruhan, perbudakan menghasilkan sekitar 5,2% dari PDB Belanda, hanya sedikit di bawah proporsi yang dihasilkan oleh pelabuhan Rotterdam saat ini.
Perbudakan di Belanda begitu berpengaruh bagi perekonomian negara tersebut.
Sehingga setelah perbudakan dihapuskan, hal itu pun membuat pemerintah Belanda kewalahan.
Bahkan, hal tersebut pada akhirnya berkaitan dengan sejarah orang Jawa di bekas koloni Belanda, Suriname.
Seperti diketahui, dikenal orang 'Suriname Jawa', merujuk pada warga Suriname yang masih merupakan keturunan etnis Jawa.
Orang-orang Jawa dikirim ke Suriname sebagai buruh perkebunan setelah perbudakan di Koloni Belanda berakhir.
Bisa dikatakan, penghapusan budak di koloni Belanda merupakan awal mula keberadaan orang Suriname Jawa.
Sekitar tahun 1890, orang-orang dari Jawa mulai dikirim ke Suriname oleh Belanda yang mengadakan perjanjian dengan Inggris.
Perjanjian antara Belanda dan Inggris adalah tentang mendatangkan imigran atau buruh kontrak ke Suriname yang saat itu perekomiannya tidak menentu karena dihapuskannya perbudakan.
Saat itu perkebunan masih sangat memerlukan tenaga buruh. Maka, ditandatanganilah perjanjian tersebut pada pada tahun 1870.
Para buruh buruh kontrak (imigran) Hindustan pertama dari India didatangkan mulai tahun 1873. Ini berlangsung sampai tahun 1914.
Sementara buruh kontrak dari India didatangkan, pada 9 Agustus 1890 gelombang lainnya dimulai, yaitu dengan mendatangkan buruh dari Jawa.
Para imigran dari Jawa dipekerjakan sebagai buruh murah di perkebunan yang dikuasai Belanda tersebut.
Kelompok imigran Indonesia pertama yang tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890 berjumlah 94 orang.
Kelompok tersebut direkrut oleh De Nederlandsche Handel Maatschappij, untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan perusahaan gula Marienburg.
Namun, empat tahun kemudian, tepatnya 1894 perusahaan yang sama mendatangkan lebih banyak lagi imigran dari Jawa.
Gelombang kedua kedatangan imigran Jawa yaitu sebanyak 582 orang.
Selanjutnya mulai tahun 1897 kedatangan para imigran dari Indonesia ini dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Banyaknya imigran Suriname dari Jawa semakin meningkat, bahkan dari tahun 1890 hingga 1939, jumlah imigran Indonesia asal Jawa tersebut mencapai 32.956 orang.
Lebih dari 30 ribu orang Jawa itu didatangkan ke Suriname dengan menggunakan 34 kali pengangkutan.
Imigran keturunan Jawa tersebut bekerja sebagai buruh perkebunan Belanda berdasarkan sistem kontrak.
Berdasarkan perjanjian yang ada, para buruh Jawa tersebut memiliki hak untuk kembali ke negara asalnya (repatriasi) bilamana telah habis masa kontraknya.
Dalam periode tahun 1890 – 1939, tercatat 8.120 orang yang telah kembali ke tanah air
Pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi tercatat 1.700 orang. Repatriasi massal terakhir pada 1954, ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia.
Namun, di antara orang-orang Jawa di Suriname, banyak juga yang memilih menetap.
Setelah masa kejayaan perkebunan merosot, banyak dari mereka beralih profesi menjadi buruh industri.
Mereka pun berpindah ke pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton.
Seiring berjalannya waktu, orang Jawa yang bertahan di Suriname bukan hanya jadi buruh melainkan juga jadi politisi bahkan menteri.
Seperti itulah awal mula keberadaan warga Suriname Jawa, yang menjadikan negara di Amerika Selatan tersebut punya hubungan yang unik dengan Indonesia.
(*)