Intisari-Online.com - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah resmi lengser dari jabatannya setelah Knesset atau parlemen Israel memilih Naftali Bennett sebagai pengganti.
Bennett menang sangat tipis dalam pemungutan suara di Knesset.
Sebanyak 60 kursi di Knesset memilih untuk melengserkan Netanyahu sementara 59 kursi berpendapat sebaliknya.
Naftali Bennett merupakan mantan sekutu Netanyahu yang kini menjadi saingan beratnya.
Pelantikan PM Naftali Bennett mengakhiri 12 tahun kepemimpinan Netanyahu.
Dan pemungutan suara itu mengakhiri sesi parlemen yang penuh badai, mengakhiri siklus kelumpuhan politik selama 2 tahun, di mana Israel sempat menggelar 4 kali pemilihan yang berakhir dengan jalan buntu.
Namun ada yang menarik dari peralihan kekuasaan ini.
Sesaat sebelum Naftali Bennett Israel mengambil alih jabatan sebagai perdana menteri (PM) Israel , pendahulunya Benjamin Netanyahu memerintahkan dokumen-dokumen dihancurkan di kantornya.
Laporan menyebut sumber yang bekerja untuk Netanyahu mengatakan mantan perdana menteri memerintahkan mereka membuang dokumen pada Minggu, satu hari sebelum pemerintah baru menjabat.
Tidak jelas dokumen mana atau berapa banyak dokumen yang diduga dihancurkan.
Menurut peraturan pegawai negeri dan keputusan kabinet, merobek-robek dokumen adalah tindakan ilegal.
Semua dokumen, baik publik maupun pribadi, dimaksudkan untuk disimpan dalam arsip kantor, terutama dokumen yang berkaitan dengan hal-hal profesional.
Semua dokumen, baik publik maupun pribadi, dimaksudkan untuk disimpan dalam arsip kantor, terutama dokumen yang berkaitan dengan hal-hal profesional.
Meski demikian, kantor Perdana Menteri Israel mengklaim akan menyelidikinya.
Dikhawatirkan lebih keras ke Palestina
Naiknya Naftali Bennett sebagai PM baru Israel juga dikhawatirkan bisa berujung tindakan lebih keras terhadap Palestina.
“Karena kedua kubu politik di Israel sama-sama kanan, yang akan kita saksikan, menurut saya adalah persaingan adu keras terhadap Palestina,” ujar Dinna Prapto Raharja, Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional kepada Kompas.com pada Senin (14/6/2021).
Menurut Dinna, sebutan “partai kiri” yang sering dilontarkan untuk koalisi Bennett hanyalah label yang dilontarkan oleh Netanyahu.
Sementara pada kenyataannya keduanya tidak berbeda, keduanya sama-sama sayap kanan.
“Keduanya berpotensi menggunakan cara-cara populis untuk menarik dukungan massa lewat media, dan cara-cara kekerasan biasanya digunakan untuk menggalang dukungan secara cepat,” terang Dinna yang juga pendiri Synergy Policies.
“Adu popularitas” ini menurutnya jadi hal yang krusial, mengingat koalisi Bennett hanya menang tipis dari segi mayoritas kursi di Knesset yaitu beda satu suara dengan koalisi Netanyahu.
(*)