Intisari-Online.com - Israel bersedia bekerja untuk membangun hubungan dengan negara-negara mayoritas Muslim di Asia Tenggara, kata duta besarnya untuk Singapura sebagaimana dilansir Middle East Monitor, Jumat (18/6/2021).
Pengumuman itu muncul meskipun negara-negara Asia Tenggara itu mengutuk serangan udara Israel di Jalur Gaza yang terkepung bulan lalu.
Selama 11 hari, Israel melancarkan serangan di Jalur Gaza yang diblokade.
Pejabat kesehatan di Gaza mengatakan 254 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak dan 39 wanita, tewas dan lebih dari 1.900 terluka dalam pemboman itu.
Negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei telah mendesak PBB untuk turun tangan dan menghentikan "kekejaman yang dilakukan terhadap rakyat Palestina."
Dalam sebuah pernyataan bulan lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin dan Sultan Brunei menyebut serangan udara Israel di Gaza sebagai bagian dari kebijakan "tidak manusiawi, kolonial dan apartheid" terhadap rakyat Palestina.
"Kami mengutuk dalam istilah yang paling keras atas pelanggaran dan agresi terang-terangan berulang, yang dilakukan oleh Israel, yang menargetkan warga sipil di seluruh Wilayah Pendudukan Palestina."
"Khususnya di Yerusalem Timur dan Jalur Gaza, yang telah membunuh, melukai dan menyebabkan penderitaan bagi banyak orang, termasuk wanita dan anak-anak," tambah pernyataan itu.
Ketiga negara tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, dan telah berulang kali menyerukan diakhirinya pendudukan ilegal atas wilayah Palestina dan solusi dua negara berdasarkan garis perbatasan 1967.
Duta Besar Israel untuk Singapura, Sagi Karni, mengatakan, Israel perlu melindungi warganya, dan "tidak bertengkar" dengan negara mana pun di Asia Tenggara.
"Kami juga ingin memperluas lingkaran perdamaian, ke negara-negara Muslim di kawasan ini," katanya.
"Tapi kita tidak bisa memaksakannya kepada mereka," tambahnya.
"Terserah mereka untuk bergabung, dan mereka tahu bahwa kami tertarik, tetapi mereka juga memiliki pertimbangan politik internal mereka sendiri."
Kesepakatan normalisasi tahun lalu yang ditandatangani oleh UEA dan Bahrain, diikuti oleh Sudan dan Maroko.
Normalisasi tersebut dikecam oleh Palestina yang mengklaim negara-negara tersebut telah meninggalkan posisi bersatu di mana negara-negara Arab akan berdamai hanya di bawah solusi dua negara.
"Kami bersedia berbicara, kami bersedia bertemu, dan kami selalu membuka pintu," kata Sagi.
(*)