Isi Perjanjian Giyanti, Hentikan Pemberontakan Pangeran Mangkubumi ketika Merasa Dikhianati Pakubuwono II, karena Apa?

Khaerunisa

Editor

Keraton Kasunan Surakarta. Ilustrasi isi Perjanjian Giyanti.
Keraton Kasunan Surakarta. Ilustrasi isi Perjanjian Giyanti.

Intisari-Online.com - Isi perjanjian Giyanti disepakati pada Februari 1755 di desa Giyanti, sekitar desa Jantiharjo, Karanganyar.

Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono III, dan VOC.

Perjanjian Giyanti pun menghentikan pemberontakan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi terhadap Keraton Surakarta sejak dipimpin Pakubuwono II.

Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said atau dikenal juga sebagai Pangeran Sambernyawa, ketika ia merasa dikhianati oleh janji Pakubuwono II.

Baca Juga: Isi Perjanjian KMB, Tunda Pembahasan Masalah Irian Barat hingga 'Meledak' Beberapa Tahun Kemudian

Pada 1742, Raden Mas Said yang merupakan cucu dari Amangkurat IV, bersama Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), mencoba melakukan penyerangan ke Keraton Kartosuro sebagai permulaan pemberontakannya.

Keinginan untuk melakukan perlawanan muncul seiring kesadaran Raden Mas Said remaja atas ketidakadilan yang didapatkan keluarganya.

Terlebih dengan sikap Pakubuwono II yang menempatkannya sebagai Gandhek Anom (Bangsawan Rendahan) di Mataram.

kemudian, untuk menghentikan pemberontakan Raden Mas Said, diadakan sayembara oleh Pakubuwono II yang dipenuhi oleh Pangeran Mangkubumi yang berhasil meredam pergerakan mereka, namun ini pula yang menjadi awal pemberontakan lainnya.

Baca Juga: Pancasila sebagai Sistem Filsafat Berarti Mengungkap Konsep-konsep Kebenaran Pancasila untuk Manusia pada Umumnya

Janji Pakubuwono II bahwa siapa saja yang berhasil meredam pemberontakan Raden Mas Said akan diberi hadiah tanah seluas 3.000 rupanya tidak ditepati.

Hal itu menimbulkan kekecewaan Pangeran Mangkubumi, sehingga ia pun berpindah haluan, dan berbalik melawan pihak kerajaan.

Sikap Pakubuwono II yang tidak memenuhi janjinya itu merupakan hasutan VOC yang menganggap hadiah tanah seluas 3.000 hektar terlalu berlebihan dan menyuruh Pakubuwono II untuk menyerahkan hanya 1000 hektar kepada Mangkubumi.

Akibat merasa dikhianati, Mangkubumi bergabung dengan perlawanan Raden Mas Said pada 1746.

Baca Juga: Eriksen Disebut Sempat Meninggal Beberapa Menit, Pesepak Bola Ini Malah Sempat Mati Suri Selama 78 Menit Setelah 'Collapse' di Lapangan, Selamat Setelah Medis Lakukan Ini Belasan Kali

Selanjutnya, perlawanan Pangeran Mangkubumi itu dihentikan Pakubuwono III dengan Perjanjian Giyanti.

Apa isi Perjanjian Giyanti yang menghentikan pemberontakan Pangeran Mangkubumi?

Lahirnya Perjanjian Giyanti

Pada 23 September 1754, tercipta nota kesepahaman antara Mangkubumi dan VOC yang menyatakan bahwa Mangkubumi mendapatkan setengah bagian dari wilayah Mataram.

Mangkubumi juga mendapatkan setengah pusaka Istana dan diperbolehkan memakai gelar Sultan. Sementara Pantai Utara Jawa (Pesisiran) diserahkan dan dikuasai VOC.

Baca Juga: 400 Personel Diperkirakan Mengisi Densus 88 di Tingkat Pusat, Seperti Apa Sejarah Pembentukan Satuan Ini dan Kaitannya dengan Bom Bali 2002?

Itu dicapai setelah pertemuan khusus dengan VOC yang dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Notokusumo, dan Tumenggung Rangga.

Sementara, N Harting, Gubernur VOC untuk Jawa bagian utara didampingi oleh Breton, Kapten Donkel dan Fockens.

Menurut dokumen register harian milik N Harting dikutip Kompas.com, Gubernur VOC tersebut berangkat menuju Semarang pada 10 September 1754 untuk menemui Pangeran Mangkubumi.

Pendeta Bastani menjadi juru bahasa dalam perundingan tersebut.

Baca Juga: Sejak Merdeka Tak Lepas Dari Utang, Ternyata Ini Jumlah Utang Negara Indonesia Sejak Presiden Soekarno Hingga Jokowi, Ada Presiden yang Nyaris Sukses Kurangi Utang Negara

Tawar-menawar wilayah antara keduanya terjadi, dan setelah beberapa perundingan berjalan, nota kesepahaman tersebut pun tercipta.

Selanjutnya nota kesepahaman itu diterima oleh Pakubuwono III yang menggantikan Pakubbuwono II yang telah mangkat sebelumnya.

Dari situlah penandatanganan Perjanjian Giyanti dilakukan oleh kedua kubu di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755.

Tujuan utama Perjanjian Giyanti yaitu tentang pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram, dengan mengangkat Mangkubumi sebagai penguasa separuh wilayahnya.

Baca Juga: Senjata AK-47 Jadi Simbol Kebanggaan Sejumlah Negara, Termasuk Lambang Negara Timor Leste, Memang Apa Maknanya?

Mangkubumi mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwono I dan berkuasa di wilayah yang sekarang merupakan Yogyakarta.

Sedangkan, Sunan Pakubuwono III harus bisa menerima kenyataan dalam perjanjian tersebut dan berkuasa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kartasura-Surakarta.

Namun, di antara pasal-pasal perjanjian ini, ada poin yang menguntungkan VOC dengan memberinya hak-hak tertentu.

Perjanjian Giyanti terdiri dari sembilan pasal dan satu penutup dan ditandatangani pihak-pihak yang terlibat.

Baca Juga: Saat Dunia Sedang Butuhkan Vaksin Covid-19, Amerika Malah Musnahkan 60 Juta Dosis Vaksin Covid-19, Terkuak AS Temukan Praktik Licik Ini Dalam Pembuatan Vaksin

Isi Perjanjian Giyanti:

Pasal 1

Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.

Pasal 2

Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.

Pasal 3

Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur.

Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.

Pasal 4

Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.

Baca Juga: Saat Dunia Sedang Butuhkan Vaksin Covid-19, Amerika Malah Musnahkan 60 Juta Dosis Vaksin Covid-19, Terkuak AS Temukan Praktik Licik Ini Dalam Pembuatan Vaksin

Pasal 5

Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.

Pasal 6

Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746.

Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.

Pasal 7

Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.

Pasal 8

Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.

Baca Juga: Banyak Orang Kaya di Israel yang Memilih Kabur dari NegaranyaGegara Ketakutan,LaluSiapa Kini Orang Terkaya di Israel?

Pasal 9

Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.

Penutup

Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, W. H. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.

Itulah bagaimana Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan pada abad ke-16 terpecah menjadi dua melalui Perjanjian Giyanti.

Juga bagaimana konflik internal kerajaan tersebut memberikan kesempatan pada VOC untuk semakin mencengkeramkan pengaruhnya di wilayah tersebut.

Baca Juga: Kisah Pengacara Yahudi Gagalkan Rencana Nazi di LA Selama Perang Dunia II, Ini yang Dilakukannya

Sementara itu, ketika Perjanjian Giyanti ditandatangani Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III, pemberontakan oleh Pangeran Sambernyawa masih berlanjut.

Akibatnya, Pangeran Sambernyawa harus menghadapi dua kekuatan yang telah bersatu kembali, yaitu pasukan Pakubuwono III.

Bahkan, ditambah kekuatan VOC, yang juga harus dihadapi perlawanan Pangeran Sambernyawa.

Di kemudian hari, giliran Perjanjian Salatiga yang menghentikan perlawanan Pangeran Sambernyawa dan kembali memecah Mataram.

Baca Juga: Kini Dijadikan Senjata Andalan Oleh KKB Papua, Ternyata Penemu Senapan Ini Hidup Menderita, Senjata Buatannya Disebut-sebut Telah Membunuh Jutaan Orang

(*)

Artikel Terkait