Dilansir dari The Jerusalem Post pada Jumat (11/6/2021), Masri, lahir pada tahun 1934, dibesarkan di lingkungan kelas menengah dengan dua saudara perempuan dan delapan saudara laki-laki.
Ibunya menanggung beban membesarkan dia dan saudara-saudaranya karena ayahnya, yang adalah seorang pengusaha dan mukhtar (pemimpin lokal), meninggal ketika dia berusia dua tahun.
Ketika membesarkan dirinya dan saudara-saudaranya, ibunya menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama.
Sang ibu selalu memastikan bahwa mereka semua belajar dengan giat dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.
Pada tahun 1948, perang pecah di wilayah itu dan membuat kehidupan Masri yang berusia 14 tahun terperosok jauh.
Sekolah dibatalkan dan serangan udara setiap hari memaksa bocah itu dan anggota keluarganya untuk mencari perlindungan di gua terdekat.
“Pilot Israel datang dengan pesawat untuk mengebom. Ada satu atau dua serangan udara setiap hari, biasanya sekitar jam 6 pagi,” kata Masri.
Karena perang, seperti warga Palestina lainnya, Masri dan keluarganya pindah ke Aley, Lebanon, untuk melanjutkan studinya.
Meski tinggal di Lebanon, hidup Masri hanya untuk Palestina dan dia berjanji akan berjuang untuk rakyat Palestina.
"Semua yang ingin saya lakukan dalam hidup saya adalah untuk membebaskan Palestina."
"Saya ingin tahu bagaimana saya bisa melawan Israel dan mendapatkan kembali tanah kami,” kenangnya dengan tegas.
Setelah lulus SMA, Masri memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Amerika Serikat (AS).
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR