Intisari-Online.com - Baru-baru ini dua aktivis muda Palestina mendapat sorotan dengan keberaniannya membela warga Palestina dari pengusiran Israel.
Mereka adalah Muna al-Kurd dan Mohammed al-Kurd, dua bersaudara yang kini dianggap menandai 'generasi baru ikon pembela Palestina.
Generasi baru yang berjuang untuk melindungi rumah mereka juga memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Mengutip Aljazeera, aktivis berusia 23 tahun tersebut menyoroti perintah pengadilan Israel agar keluarganya, dan beberapa orang lainnya, diusir secara paksa dari rumah mereka di Sheikh Jarrah.
Sebuah klip video yang menunjukkan Muna menantang seorang pemukim Yahudi, menegurnya karena "mencuri" rumahnya, menjadi viral secara online saat Mohammed diwawancarai oleh beberapa penyiar Amerika, di antara jaringan internasional lainnya.
Muna dan Mohammed dipandang sebagai contoh generasi baru pemberi pengaruh dalam masyarakat Palestina dengan banyak pengikut mereka di media sosial. Mereka pun tak gentar ketika ditangkap aparat Israel.
Dua bersaudara tersebut akhirnya dibebaskan dan disambut dengan kebanggaan terhadap keberanian mereka.
Muna dan Muhammed tentu bukan satu-satunya aktivis muda yang pernah ditangkap, adalah Ahed al-Tamimi yang pernah merasakan penjara Israel selama berbulan-bulan.
Baca Juga: Latar Belakang Kebangkitan Nasional Berkaitan dengan 2 Faktor Berikut Ini...
Seperti Muna dan Muhammed, sosok Ahed juga pernah menghebohkan publik dengan aksinya melawan aparat Israel.
Ahed masih berusia 17 tahun ketika dia berani menghadapi tentara Israel, membuat pendukungnya menganggapnya sebagai simbol perlawanan pendudukan Israel di Tepi Barat.
Ia merupakan seorang aktivis Palestina dari desa Nabi Shalih yang terkenal dengan aksinya menampar seorang tentara pada pada 2017.
Insiden itu direkam di video dan menjadi viral, memicu minat, dan perdebatan internasional.
Tapi bukan tanpa alasan Ahed menjadi begitu emosional.
Saat itu, Ahed bereaksi terhadap berita bahwa sepupunya yang berusia 15 tahun, Mohammed, telah ditembak di wajahnya oleh pasukan Israel dengan peluru baja berlapis karet pada hari sebelumnya, meninggalkannya dalam kondisi kritis.
Penamparan terhadap aparat Israel pun membuat Ahed dijatuhi hukuman delapan bulan penjara.
Saat itu, penangkapan remaja tersebut menuai kecaman internasional dan kembali menyoroti perlakuan Israel terhadap warga Palestina, terutama pemuda Palestina.
Ahed didakwa atas 12 dakwaan di pengadilan militer Ofer Israel di Ramallah dua minggu setelah penangkapannya.
Pada 2018, Ahed dibebaskanbersama ibunya, Nariman, yang juga dijatuhi hukuman delapan bulan.
Mereka menjalani hukuman tiga minggu lebih singkat dengan kebijakan remisi.
Manal, Bibi Ahed mengatakan bahwa pemenjaraan keponakannya telah “membuat nama Nabi Saleh dan nama Tamimi mendunia”, namun ia berharap dengan pembebasan remaja itu membuat dunia lebih menyoroti pengalaman warga Palestina di penjara Israel.
“Sekarang seluruh dunia tahu tentang apa yang terjadi di sini [di Nabi Saleh],” katanya kepada Al Jazeera.
“Tapi yang penting sekarang adalah Ahed memberi tahu seluruh dunia tentang pengalaman dan perlakuan terhadap perempuan dan anak di bawah umur [Palestina] di penjara Israel," ungkapnya.
Menurut Dawoud Yusef, koordinator advokasi untuk kelompok hak-hak tahanan Palestina Addameer, wanita Palestina mengalami penganiayaan berat di penjara-penjara Israel.
Ia mencatat bahwa penjaga Israel “biasanya terlibat dalam pelecehan seksual terhadap tahanan wanita, baik secara verbal maupun fisik.”
Wanita Palestina juga menghadapi bentuk pengabaian yang ekstrem di penjara, seperti otoritas penjara Israel yang menolak untuk memberikan “produk sanitasi yang diperlukan” kepada tahanan wanita Palestina, kata Yusef.
Dalam kasus perempuan di bawah umur yang ditahan di penjara-penjara Israel, “hal-hal yang menonjol adalah efek mental dari pelecehan semacam itu, dikombinasikan dengan rasa malu atas seluruh cobaan itu,” tambah Yusef.
Sementara itu, Ahed sendiri telah mengungkapkan pengalaman buruknya berada di penjara Israel.
Dilaporkan Anadolu Agency (18/5/2018), Ahed al-Tamimi, telah meminta para pembela hak asasi manusia untuk bersuara menentang agresi Israel terhadap perempuan Palestina.
Berbicara kepada Anadolu Agency, aktivis Palestina ini mengatakan wanita Palestina telah menanggung penderitaan bertahun-tahun yang disebabkan oleh tentara Israel, termasuk perlakuan Israel terhadap tahanan wanita.
“Ada wanita di Jalur Gaza yang juga dibombardir, yang tubuhnya telah dikeluarkan dari bawah reruntuhan. Di Palestina, kami selalu mengalami ini, kami selalu hidup dengan rasa sakit. Ketika seorang wanita dipukuli, saya langsung melihat ibu saya," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, dia menggarisbawahi bahwa mereka membutuhkan dukungan dari seluruh komunitas internasional, termasuk para pembela hak-hak perempuan.
Baca Juga: Fungsi Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia Diwujudkan dalam Sikap Mental
“Di penjara-penjara Israel, banyak wanita Palestina yang tidak mendapatkan perawatan medis dasar sekalipun,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa para narapidana yang terluka parah dibungkam dengan hanya beberapa obat penghilang rasa sakit.
Ia melanjutkan, narapidana wanita menghadapi lebih banyak masalah daripada pria, karena ketika mereka menstruasi, kebutuhan mereka tidak terpenuhi.
Di antara ribuan tahanan Palestina di penjara Israel, sebagian adalah tahanan perempuan, sementara ratusan adalah anak di bawah umur.
(*)