Advertorial
Intisari-online.com -Pulau Papua sampai saat ini masih menjadi sorotan warga Indonesia.
Hal ini karena kelompok militan KKB Papua dinyatakan menjadi organisasi teroris.
KKB dinilai jadi kelompok teroris oleh pemerintah karena dianggap kelewatan dan meresahkan masyarakat.
Isu Papua memang sudah lama menjadi masalah sendiri di Indonesia.
Kelompok militan separatis yang berniat membebaskan Papua dari pemerintah Indonesia sudah lama berdiri.
Masalah ini bahkan sudah bercokol sejak Papua Barat bernama Irian Barat dan baru saja dibebaskan dari Belanda di tahun 1963 lalu.
Sejarah mencatat para Presiden Indonesia memiliki cara-cara yang berbeda dalam menangani masalah separatisme di Papua.
Soeharto adalah presiden Indonesia yang lakukan langkah ekstrim menangani separatisme Irian Barat.
Ia menemui pimpinan gerakan separatis kala itu, Lodewijk Mandatjan.
Lodewijk adalah pemimpin legendaris pada masanya, ia memimpin 14 ribu anggota kelompok separatis KKB Papua di bawah kendalinya dan lakukan aksi teror tahun 1964-1967.
Soeharto pun menemui Lodewijk pada 11 Januari 1969.
Keduanya bertemu lalu membicarakan gerakan separatis Papua.
Lodewijk mengatakan ia siap kembali ke Indonesia atas kemauannya sendiri.
Selanjutnya Presiden Soeharto mengatakan jika masih banyak kekurangan dalam kehidupan rakyat di Irian Barat saat itu.
Soeharto lantas mengatakan kebahagiaan tidak turun dari langit, tetapi harus dicapai dengan bekerja keras, yaitu dengan pembangunan.
Soeharto lantas mengatakan dengan demikian bisa diperbaiki kehidupan rakyat setahap demi setahap.
Ia lantas berjanji membangun kembali Irian Barat.
Janji itu ia lakukan dengan cara ekstrim.
Sama dengan proyek pembangunan lain di era Orde Baru, investor asing didatangkan guna membangun Irian Barat.
Tahun 1973, Soeharto mendirikan tambang Freeport Sulphur dan resmikan berdirinya kota Tembagapura.
“Perusahaan ini adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia; dan lebih istimewa lagi dalam modal yang sangat besar. Tuan-tuan datang ke Indonesia dalam keadaan kami yang masih sulit pada tahun 1966,” ujarnya.
Soeharto mengabaikan kondisi alam dan kehidupan suku asli di Papua yang terganggu dengan tambang itu.
Tambang yang didirikan di Pegunungan Ertsberg itu merupakan rumah bagi Suku Amungme yang menjaga alam Gunung Grasberg, gunung emas proyek Freeport.
Tak hanya merusak alam dan mengusir suku asli yang diami Gunung Grasberg, pembangunan di Irian Barat di saat itu juga menghadirkan masalah baru ketika Soeharto memindahkan penduduk dari pulau lain, termasuk Jawa dan Sulawesi, ke Papua.
Antropolog Austria, Christian Warta, Soeharto memikirkan konsep transmigrasi sebagai cara mendatangkan sosok-sosok yang lebih pintar.
Soeharto melihat pendatang membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil di Papua.
Rakyat Papua pun dipandang sebagai masyarakat tertinggal yang perlu dijadikan berbudaya dan beradab.
Pandangan jika mereka tidak berbudaya inilah yang menyebabkan rasa takut tumbuh di dalam diri penduduk asli Papua.
“Akibatnya, banyak masyarakat Papua merasa terpinggirkan oleh meningkatnya jumlah pendatang tersebut,” tulis Warta dalam “Perkembangan Masalah Agama di Papua: Sengketa Antaragama dan Pencegahan Konflik” termuat di kumpulan tulisan Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru suntingan Martin Ramsted.
"Ketakutan menjadi minoritas di tanah sendiri ini lah yang secara wajar memicu nasionalisme Papua.”
Suku Amungme tidak bisa lagi melihat tempat tinggal mereka dihancurkan oleh proyek kapitalis tersebut, yang mereka anggap layaknya pencuri menjarah kediaman orang lain tanpa izin.
Freeport menjanjikan kompensasi fasilitas sosial kepada suku Amungme seperti sekolah, pasar, dan perumahan, tapi kesepakatan gagal karena pemerintah daerah salah mengurusnya.
Rumah-rumah yang dibangun pun mengikuti gaya rumah Jawa lengkap dengan kebudayaan Jawa.
Akibatnya pada tahun 1977 memuncaklah amarah suku Amungme dan enam suku lain yang berubah menjadi perlawanan terbuka.
Konflik dimulai dengan suku asli memotong pipa penyalur bijih tembaga, membakar gudang, dan melepaskan kran tangki persediaan bahan bakar milik Freeport.
Kejadian ini pun terdengar sampai Jakarta, dan Soeharto segera mengerahkan TNI yang saat itu bernama ABRI untuk menertibkan keadaan.
“Kebun dan rumah-rumah dihancurkan, sejumlah orang dibantai. Pemerintah mengumumkan jumlah orang yang meninggal di Tembagapura sebanyak 900 orang. Para saksi lapangan memperkirakan dua kali lipatnya,” tulis Harsutejo dalam Kamus Kejahatan Orba.
Mereka yang berhasil melarikan diri memilih tinggal di hutan sekitar Lembah Tsinga selama tiga tahun.
Mereka pun dipandang pengacau dan kelompok separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sampai saat ini rasa tidak ingin jadi minoritas inilah yang sebabkan tumbuh rasa nasionalisme di rakyat Papua yang menyebabkan mereka ingin merdeka dari Indonesia.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini