Intisari-Online.com – Saat ini ramai di media memberitakan tentang KKB Papua yang sudah memakan korban jiwa, padahal di tanah Papua pernah tumbuh tanaman yang dipercaya sebagai obat dan menghasilkan banyak cuan bagi pengelola tanaman tersebut.
Di belantara Papua, buah berbentuk gada berwarna merah ini dinamai buah merah, si emas merah yang pernah menghasilkan emas merah di tanah Papua.
Sejak naik daun menjadi ‘emas merah’ dari Jayawijaya, buah ini banyak mencetak milioner, selain menyulut perang suku, membuat mukjizat, dan mengundang banyak pro dan kontra berkaitan dengan khasiatnya sebagai obat.
Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2006, dalam tulisan ‘Emas Merah Mencetak Uang Merah’ berikut ini.
Baca Juga: Buah Merah Asal Papua Ini Punya Manfaat Kesehatan yang Menakjubkan
Sebelum pamornya mencorong sebagai tanaman obat, barugum (sebutan masyarakat Jayawijaya untuk jenis buah merah yang paling besar) hanyalah tanaman liar.
Kadang-kadang saja ia dikonsumsi, ketika ada upacara bakar batu, atau dibikin minyak goreng.
Cara mengonsumsi buah yang masih sepupu tanaman pandan wangi ini unik.
Sewaktu upacara bakar batu, buah merah dimasukkan ke dalam lubang yang berisi batu membara, bercampur dengan hipere (ubi kayu), iprika (daun hipere), tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), towabuk atau hopak (jagung), dan tentu saja daging babi.
Setelah berada dalam lubang batu yang tertutup rapat selama dua jam, semua sayuran dihamparkan di atas daun pisang atau alang-alang.
Daging babi dipotong-potong dan dijadikan satu. Kemudian buah merah diperas sampai keluar pastanya.
Minyak yang masih bercampur dengan pasta itu berperan sebagai saos yang berasa gurih berbau khas harus buah merah.
Selanjutnya, peserta upacara beramai-ramai menyantap hasil bakar batu berupa hipere, nahampun, dan hopak; iprika, tirubug, dan kopae sebagai salad; daging babi sebagai menu pokok, serta siraman papua red fruit sauce.
Ha nomotok, uenak tenan.
Naik seribu kali
Dulu ketika bulan-bulan panen raya (Nopember – Februari) dan buah merah melimpah, masyarakat pedalaman biasa mengolahnya menjadi minyak.
Bukan untuk dijual sebagai obat seperti sekarang, tapi dipakai sebagai minyak goreng atau bahan bakar untuk menyalakan pelita.
Cara membuatnya, buah merah digoreng, layaknya orang di Pulau Jawa membuat minyak klentik (minyak kelapa).
Minyak buah merah dipakai untuk memasak, mengingat minyak goreng di belantara Jayawijaya merupakan barang langka dan mahal.
Bila stok lebih, minyak itu disimpan dalam bumbung bambu dan bisa bertahan sampai satu tahun.
Ampasnya dipakai untuk pakan babi, binatang yang bisa menaikkan status sosial mereka.
Namun, sejak akhir 2002, tanaman yang dibaptis dengan nama Pandanus conoideus ini kemudian secara mendadak menjadi terkenal bak selebriti.
Konon, buah yang bentuknya mirip gada, senjata milik Bima dalam pewayangan ini berkhasiat sebagai obat bagi segala macam penyakit.
Menurut seorang dosen di Universitas Cendrawasih, Jayapura, buah tanaman endemik Papua ini bisa menyembuhkan kanker, HIV/AIDS, dan beberapa penyakit degeneratif lain yang siap mencabut nyawa.
Akibatnya, para penderita penyakit parah yang sudah bosan dengan obat dari dokter pun beramai-ramai memburu minyak herbal ini.
Ada yang benar-benar butuh, iseng, untung-untungan, bahkan nekat.
Harga buah merah pun lantas melambung tinggi. Sepuluh tahun lalu (sekitar 1996) harganya paling-paling senilai ‘uang merah’ lama (uang kertas senilai Rp100,-).
Sekarang (2016), satu buah barugumbisa mencapai harga senilai ‘uang merah’ baru (uang kertas Rp100.000,-).
Kejayaannya mencapai puncak di tahun 2005. Buah merah mampu menenggelamkan herbal lain yang sudah lebih dulu ngetren.
Sebut saja mengkudu (Morinda citrifolia) yang dilengserkan oleh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) yang juga satu tanah tumpah darah dengan buah merah, Papua.
Tak lama, posisi mahkota dewa yang mendapat gelar ‘obat pusaka para dewa’ pun pudar, digeser oleh ‘emas merah’ asal Papua ini.
Tidak lagi mejeng
Yang pertama kali ketiban rezeki dari buah endemik Papua tentu saja kaum pendatang di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, salah satu sentra industri buah merah di Papua.
Para pendatang itu biasanya membeli buah atau kadang-kadang menampung minyak hasil olahan penduduk setempat.
Minyak itu kemudian dijual ke pelanggan atau agen yang kemudian memasarkannya ke luar pulau.
Pada pertengahan April 2006, harga minyak buah merah di pedagang Wamena rata-rata Rp 400.000,- per liter, sedangkan harga setelah sampai di konsumen di Jakarta sekitar Rp 1.000.000,- seliter.
Harga buat warga setempat? Bervariasi, tergantung pada kualitas dan kecerdikan si penjual.
Biasanya, penduduk setempat menjual minyak ke pedagang pengumpul dalam botol bekas bir atau dalam jerigen ukuran 5 l bekas minyak goreng.
Minyak dari warga setempat ini biasanya masih bercampur dengan pasta, hingga harganya murah.
Satu botol bir paling-paling dihargai Rp 15.000,- - Rp 25.000,-. Dalam jerigen 5 l Rp 50.000,- dan kalau bagus, bisa sampai Rp 500.000,-.
Ada juga yang berlaku curang dengan mencampurnya pakai minyak goreng, sehingga harganya bisa lebih murah, atau kalau tidak malah mendapat bogem mentah dari pedagang pengumpul di Wamena.
Di Pulau Jawa, buah merah dikemas rapi dalam bolol dengan label menarik. Dijual sebagai obat yang konon bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Ada juga indusiri yang mengemasnya dalam bentuk softcapsule, dibuat masker untuk kecantikan, salep, dan berbagai produk kesehatan.
Produk ini akhirnya melanglang buana walaupun banyak orang masih ribut, ada yang pro dan ada yang kontra tentang khasialnya sebagai obat.
Setelah "emas merah" ini naik daun, warga setempat di pedalaman menjadi punya banyak aktivitas.
Penduduk berkoteka dan bersali yang biasanya mejeng di bandara Wamena untuk menunggu, yang menurut mereka "orang cantik", turun dari pesawat sudah tidak tampak lagi.
Mulai pudar
Kini pria-pria berkoteka dan wanita bersali tanpa BH sudah enggan mejeng di bandara. Mereka kini lebih senang masuk ke hutan berburu ogi, kwamheer, barugum, atau wanggeni (beberapa sebutan buah merah di Jayawijaya).
Hanya dengan berjalan kaki menerobos hutan selama satu atau dua jam, mereka sudah bisa membawa pulang satu atau dua ikat buah merah segar.
Satu ikat biasanya berisi lima buah yang sudah dibelah dua memanjang dan dikerok empulurnya.
Dari hasil jerih payahnya itu mereka bisa mengantungi uang senilai Rp150.000.- - Rp300.000,- per ikatnya. Penghasilan yang fantastis.
Karena itu wajar bila honai (rumah asli penduduk asli Papua) mereka saat itu penuh dengan timbunan rupiah.
Setelah sekian lama tidak berarti, akhirnya "emnas merah" dari Papua menjadi penggerak perekonomian.
Khususnya di Kabupaten Jayawijaya. Trigana Air rute Jayapura - Wamena yang biasanya sepi mendadak penuh. Pasar Jibama di Wamena menjadi ramai dengan transaksi.
Penyewaan jip untuk ke pedalaman makin fully booked. Bahkan penduduk yang biasa memasak buah merah menggunakan penggorengan besar rela membeli penggorengan ke Jayapura yang harganya Rp450.000.- per buah.
Ongkos pesawat pergi-pulang yang Rp850.000,- tidak dianggap beban lagi.
Di Wamena, sentra industri buah merah terbesar di Papua, ratusan industri buah merah bertebaran.
lndusiri lain seperti kerupuk dan makanan lain yang bangkrut banting setir mengolah buah ini. Bahkan para pegawai negeri yang dulu merasa seperti masuk ke neraka bila ditugaskan ke Papua, kini enggan hengkang dari Bumi Cendrawasih.
Kerja sampingan mereka mengolah buah merah sehingga dalam satu minggu bisa menyamai gaji mereka dalam satu tahun.
Tak heran jika salah satu teman pegawai negeri di Kecamatan Kelila memilih pensiun dini daripada dimutasi ke Pulau Jawa.
Tak hanya itu, para pilot pesawat perintis pun sekarang rajin terbang ke pedalaman. Landasan baru banyak dibuat untuk pesawat-pesawat kecil, yang tentu saja untuk mengangkut minyak.
Sekarang penduduk asli sudah mampu menyewa pesawat untuk membawa barang dagangan mereka.
Bahkan nun di pelosok lereng Jayawijaya gedung-gedung gereja dibangun dengan hasil penjualan "emas merah", lengkap dengan generator set, TV 29 inci, dan parabola.
Setelah tiga tahun berlalu, tampaknya kecemerlangan "emas merah" Papua ini mulai memudar.
Orang yang sebelumnya sakit kemudian sembuh, masih setia mengonsumsi buah merah. Yang tidak sembuh atau sekadar coba-coba berhenti mengonsumsi atau kembali ke dokter.
Perekonomian di Jayapura pun mulai agak lamban setelah sebelumnya mendapatkan energi "bahan bakar" untuk bergerak dari minyak buah ini.
Pengusaha buah merah yang sempat menjadi milioner sudah bersiap-siap untuk berekspansi ke sektor lain.
Tapi, bagaimanapun peran buah merah dalam membangkitkan masyarakat dari keterpurukan ekonomi di Papua tiga tahun belakangan sungguh besar.
Tidak terhitung jumlahnya mahasiswa yang terancam putus kuliah berhasil menyambung SKS-nya berkat rezeki dari minyak buah merah.
Belum lagi dibangunnya puluhan landasan pesawat perintis, gedung gereja, balai desa, kecamatan, pasar, dan masuknya uang ke kas kepala suku.
Yang jelas, perekonomian di Jayawijaya sempat bangkit, walaupun yang lebih banyak menikmati bukan penduduk asli yang notabene pewaris buah merah ini. (Bernard T. Wahyu Wiryanta)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari