Intisari-online.com -Mata dunia terus menyorot ketegangan Rusia-Ukraina yang kembali menggelora setelah 7 tahun lalu ketegangan terakhir dua negara.
Mengulas keseluruhan ketegangan, dua negara terlibat konflik karena memperebutkan semenanjung Krimea.
Krimea diklaim Rusia menjadi milik mereka selama beratus-ratus tahun lamanya.
Namun sejak kemerdekaan Ukraina tahun 1991, Krimea ikut ke Ukraina.
Hingga akhirnya pada tahun 2014 ketika terjadi kudeta pro Barat di Ukraina, pejabat di Krimea dan ibukotanya Sevastopol mengadakan referendum.
Dari referendum didapat hasil 96,7% warga Krimea dan 95,6% warga Sevastopol memilih pisah dari Ukraina dan bergabung ke Rusia.
80 persen populasi pemilik suara berpartisipasi dalam referendum.
Sejak itu Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani perjanjian reunifikasi pada 18 Maret 2014, dan Dewan Federasi (parlemen Rusia tingkat atas) mengesahkannya pada 21 Maret 2014.
Baca Juga: Perempuan Ukraina: Jangan Berikan Seks pada Pria Rusia
Ukraina tidak terima dengan hal itu dan tidak mengakui Krimea bagian dari Rusia.
Sejak pencaplokan itu, Kiev memotong akses air bersih Krimea, dengan menutup kanal Krimea Utara.
Segera masalah merebak, dengan ketiadaan air bersih dan Krimea-Rusia disanksi pihak Barat karena merugikan Ukraina, pemenuhan kebutuhan pangan menjadi sulit.
Rusia sudah menghabiskan dana sebesar dua kali dana pendidikan Rusia untuk menghidupi Krimea dalam 5 tahun terakhir, mengutip Bloomberg.
Menghadapi rencana Ukraina untuk membuat Krimea dan Rusia miskin itu, Rusia mulai memikirkan cara lain.
Termasuk salah satunya adalah menarik negara investor.
Pertengahan Maret lalu dikabarkan di berbagai media Ukraina dan Rusia, termasuk Kyiv Post, jika ada delegasi China yang datang ke Krimea.
Kemudian beberapa hari setelah delegasi China mengunjungi Krimea, pejabat Beijing membela perjalanan itu.
Bahkan Beijing menyebut Ukraina harus "berhenti mempolitisasi" aktivitas bisnis China di semenanjung milik Rusia itu.
"Perusahaan China mempertahankan kontak dengan Krimea dan bekerjasama dengannya dalam urusan perdagangan," demikian ujar Zhao Lijian, juru bicara menteri luar negeri China.
"Tidak ada yang boleh mempolitisasi kerjasama komersial ini."
Lijian menambahkan jika pebisnis China memiliki "ikatan bersejarah dengan Krimea" dan Beijing berharap "pihak yang tertarik akan menemukan penyelesaian melalui dialog dan pembicaraan."
Pada 11 Maret, otoritas kependudukan Rusia di Krimea melaporkan kunjungan delegasi China terdiri dari "Chen Shanwen, kepala deputi Asosiasi Persahabatan Rusia-China, Zhao Kai, direktur jenderal perusahaan perdagangan ekspor-impor di Beijing Kai Sheng, dan Chen Yung, kepala dewan perusahaan stok pasar Hao Lang."
Menurut otoritas Rusia, delegasi China mengunjungi perkebunan anggur dan pusat resor Krimea.
Banyak media Rusia menganggap ini sebagai cara pebisnis China memperluas usahanya di wilayah yang diduduki.
Namun Kyiv Post menganggap dalam pertemuan itu delegasinya dianggap kurang penting karena hanya terdiri dari 3 orang yang disebutkan tadi.
Anggapan Kyiv Post didukung dengan ketiadaan informasi mengenai para delegasi dan organisasi serta bisnis yang mereka wakili.
Ketiga delegasi China itu amsuk dalam pangkalan data non-pemerintah milik Ukraina, Myrotvorets.
Pangkalan data itu berisi para individu yang mengancam bagi keamanan nasional Ukraina, karena kunjungan ilegalnya ke Krimea melalui otoritas kependudukan Rusia.
Ukraina sendiri bermasalah dengan China karena berbulan-bulan tegang akibat pebisnis China yang terikat dengan militernya berupaya meraih kontrol stok saham perusahaan Ukraina, yang dengan keras ditentang oleh AS.
Karena tekanan dari AS, otoritas Ukraina memutuskan mengakhiri perjanjian itu dan menerapkan sanksi kepada investor China akhir Januari.
Aksi China mengirim delegasi untuk memfasilitasi kemitraan ini mengejutkan para politisi Ukraina yang menganggap China telah netral atas pencaplokan Krimea.
Meski begitu, bagi otoritas kependudukan Rusia di Krimea, kedatangan China ini menguatkan kemitraan dan Rusia bisa sesumbar karena berhasil mempertahankan Krimea.
Sengketa air bersih memang tidak hanya terjadi di Krimea, tapi di Krimea sengketa air menjadi perang politik, kebanggaan nasional Rusia, dan juga membuat Rusia terus merugi akibat sanksi yang menahan perkembangan wilayah yang sebenarnya ingin Kremlin jejali dengan investor besar.
Kini, posisi Rusia dipertaruhkan setelah sebelumnya kasus Alexei Navalny membuat negara itu sudah mendapat sentimen negatif dari banyak negara lain.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini