Intisari-Online.com -Bulan lalu, lebih dari 200 kapal penangkap ikan China berkerumun di sekitar Whitsun Reef yang dikendalikan Filipina di Laut China Selatan.
"Insiden Whitsun Reef belum pernah terjadi sebelumnya baik dalam skala maupun durasinya: sejumlah besar kapal penangkap ikan China berkumpul kapan saja di satu terumbu karang Spratly, dan tinggal di sana selama beberapa minggu," jelas IISS.
Filipina menyebut kehadiran kapal-kapal itu sebagai sesuatu yang berkerumun dan mengancam.
Manila menuntut kapal-kapal China meninggalkan daerah itu, yang menurutnya berada di zona ekonomi eksklusif mereka.
Sebagai tanggapan, Beijing mengatakan kapal-kapal itu tengah berlindung dari laut yang ganas.
"Karena situasi maritim, beberapa kapal penangkap ikan berlindung dari angin dekat Niu'e Jiao, yang cukup normal. Kami berharap pihak terkait dapat melihat ini secara rasional," jelas Juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying seperti yang dilansir Express.co.uk.
Kedutaan Besar China di Manila hanya mengatakan tidak ada Milisi Maritim China seperti yang dituduhkan.
Namun, menurut penuturan para ahli politik Barat, China memiliki milisi maritim yang terdiri dari ribuan pasukan rahasia yang digunakan untuk mengendalikan Laut China Selatan.
Pasukan itu dinamakan Little Blue Man atau Pria Biru Kecil. Namun Beijing menyangkal keberadaannya.
Menurut laporan yang didapat Express.co.uk, milisi maritim yang dikendalikan Beijing terdiri dari ratusan kapal dan ribuan anggota awak yang diatur dalam armada di Laut China Selatan yang disengketakan.
Beijing menyangkal keberadaan kapal-kapal itu.
Armada tersebut dijuluki 'Little Blue Men' China, karena warna lambung dan mengacu pada Little Green Men Rusia.
Pakar Barat mengatakan, milisi merupakan bagian dari upaya Beijing untuk menggunakan klaim teritorial di laut China Selatan.
Para ahli mengklaim, armada itu dapat membawa kehadiran militer China di sekitar terumbu karang dan laut yang disengketakan dalam sekejap, yang tidak mungkin ditantang tanpa memicu konfrontasi besar.
Armada tersebut diduga dikendalikan oleh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), tetapi lagi-lagi Beijing menyangkal keberadaan mereka.
Analis di Institut Internasional untuk Kajian Strategis (IISS) di Singapura mengatakan mereka belum pernah melihat operasi China sebesar ini sebelumnya.